Setelah membahas mengenai Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA), kali ini kita akan berkenalan dengan Trans-Pacific Partnership (TPP). Beberapa waktu lalu pemerintah Indonesia sempat mengeluarkan statement untuk mempertimbangkan bergabung dalam TPP (www.bbc.com, Jokowi kemukakan niat gabung Kemitraan Trans-Pasifik, 27 Oktober 2015). Lantas seperti apa TPP dan hal-hal apa yang perlu dipertimbangkan Indonesia sebelum masuk menjadi anggota TPP akan kita ulas di artikel ini.
Bila merunut pada situs resmi di ustr.gov/tpp, kita bisa mendapatkan seputar informasi mengenai Trans-Pacific Partnership (TPP).
Dalam situs tersebut dinyatakan bahwa TPP adalah persetujuan perdagangan bebas yang digalang oleh Amerika Serikat bersama dengan sebelas negara mitra, yakni: Australia, Kanada, Chile, Jepang, Brunei Darussalam, Meksiko, Selandia Baru, Peru, Singapura, Malaysia, dan Vietnam.
Persetujuan perdagangan ini utamanya adalah dalam rangka memangkas tarif produk dan jasa antar wilayah. Selain itu TPP juga mengupayakan adanya harmonisasi peraturan dan perjanjian antar anggota, baik mengenai investasi, jasa finansial, telekomunikasi, e-commerce, intellectual property, visa dan surat ijin lainnya, serta kebijakan tentang kompetisi.
Sejarah lahirnya TPP sendiri sebenarnya melalui waktu yang cukup panjang, berawal dari pertemuan yang membahas mengenai negosiasi kerjasama Asia-Pacific Economic Cooperation Free Trade Area (APEC FTA) di Bogor, Indonesia pada 1994, kemudian negosiasi kerjasama dalam Free Trade Area of the Americas (FTAA) di Miami, Amerika Serikat di tahun yang sama.
Berikutnya pada 2000, Singapura, Selandia Baru, dan Chile mengadakan pembicaraan mengenai Trans-Pacific Strategic Economic Partnership Agreement (Pacific-3). Dari cikal bakal pertemuan-pertemuan tersebut yang diikuti dengan pembicaraan lanjutan, pada akhirnya terbentuklah Trans-Pacific Partnership dengan keanggotaan 12 negara seperti disebutkan sebelumya.
Beberapa studi menyebutkan bahwa kerjasama TPP mampu meningkatkan ekspor dan pertumbuhan ekonomi, serta menambah lapangan pekerjaan dan kesejahteraan masing-masing negara anggota. Kemudian dengan penghapusan tarif diharapkan terjadi peningkatan ekspor antar wilayah, terutama ekspor barang otomotif, plastik, dan industri pertanian.
Namun disisi lain tidak sedikit pendapat yang menyatakan bahwa kehadiran TPP justru akan menciptakan kesenjangan dalam pendapatan (income-gap) karena upah standar masing-masing negara yang berbeda-beda. Selain itu, ada kecenderungan hanya yang memiliki hak atas kekayaan intelektual (intellectual property right) yang akan mendapatkan keuntungan dari perlindungan atas haknya.
Kemudian dalam hal regulasi finansial, beberapa pihak berpendapat bahwa belum tentu regulasi tersebut bisa diterima oleh semua negara peserta. Terlebih lagi ada kekhawatiran bahwa kesepakatan ini hanya akan menguntungkan negara-negara besar. Kesimpulannya, masih banyak pro-kontra mengenai kesepakatan kerjasama ini.
Bagaimana dengan Indonesia? Dari sisi strategi, apabila Indonesia masuk kedalam TPP, maka Indonesia akan menjadi pendatang baru (newcomer), sementara untuk menjadi anggota baru mesti mendapat persetujuan dari anggota lama. Disini timbul potensi yang bisa merugikan, sebab pendatang baru juga harus memenuhi syarat-syarat tambahan yang tidak diterapkan pada anggota lama.
Lebih dari itu, sebagai pendatang baru Indonesia berada dalam posisi yang lebih lemah daripada anggota lain, sebab tidak dapat menentukan agenda kegiatan bersama. Indonesia juga tidak bisa melakukan negosiasi mengenai aturan-aturan yang telah ditetapkan oleh anggota lama.
Demikian karakteristik TPP dan beberapa poin yang perlu dipertimbangkan oleh Indonesia apabila ingin bergabung didalamnya. **
ARTIKEL TERKAIT :
Menelisik Hubungan Kerjasama ASEAN-Amerika Serikat
Mencermati Perkembangan Kekuatan Ekonomi China
Konsep dan Permasalahan dalam Perdagangan Internasional
Peluang dan Tantangan ASEAN Dalam Perekonomian Global
Bila merunut pada situs resmi di ustr.gov/tpp, kita bisa mendapatkan seputar informasi mengenai Trans-Pacific Partnership (TPP).
Dalam situs tersebut dinyatakan bahwa TPP adalah persetujuan perdagangan bebas yang digalang oleh Amerika Serikat bersama dengan sebelas negara mitra, yakni: Australia, Kanada, Chile, Jepang, Brunei Darussalam, Meksiko, Selandia Baru, Peru, Singapura, Malaysia, dan Vietnam.
Persetujuan perdagangan ini utamanya adalah dalam rangka memangkas tarif produk dan jasa antar wilayah. Selain itu TPP juga mengupayakan adanya harmonisasi peraturan dan perjanjian antar anggota, baik mengenai investasi, jasa finansial, telekomunikasi, e-commerce, intellectual property, visa dan surat ijin lainnya, serta kebijakan tentang kompetisi.
Sejarah lahirnya TPP sendiri sebenarnya melalui waktu yang cukup panjang, berawal dari pertemuan yang membahas mengenai negosiasi kerjasama Asia-Pacific Economic Cooperation Free Trade Area (APEC FTA) di Bogor, Indonesia pada 1994, kemudian negosiasi kerjasama dalam Free Trade Area of the Americas (FTAA) di Miami, Amerika Serikat di tahun yang sama.
Berikutnya pada 2000, Singapura, Selandia Baru, dan Chile mengadakan pembicaraan mengenai Trans-Pacific Strategic Economic Partnership Agreement (Pacific-3). Dari cikal bakal pertemuan-pertemuan tersebut yang diikuti dengan pembicaraan lanjutan, pada akhirnya terbentuklah Trans-Pacific Partnership dengan keanggotaan 12 negara seperti disebutkan sebelumya.
Beberapa studi menyebutkan bahwa kerjasama TPP mampu meningkatkan ekspor dan pertumbuhan ekonomi, serta menambah lapangan pekerjaan dan kesejahteraan masing-masing negara anggota. Kemudian dengan penghapusan tarif diharapkan terjadi peningkatan ekspor antar wilayah, terutama ekspor barang otomotif, plastik, dan industri pertanian.
Namun disisi lain tidak sedikit pendapat yang menyatakan bahwa kehadiran TPP justru akan menciptakan kesenjangan dalam pendapatan (income-gap) karena upah standar masing-masing negara yang berbeda-beda. Selain itu, ada kecenderungan hanya yang memiliki hak atas kekayaan intelektual (intellectual property right) yang akan mendapatkan keuntungan dari perlindungan atas haknya.
Kemudian dalam hal regulasi finansial, beberapa pihak berpendapat bahwa belum tentu regulasi tersebut bisa diterima oleh semua negara peserta. Terlebih lagi ada kekhawatiran bahwa kesepakatan ini hanya akan menguntungkan negara-negara besar. Kesimpulannya, masih banyak pro-kontra mengenai kesepakatan kerjasama ini.
Bagaimana dengan Indonesia? Dari sisi strategi, apabila Indonesia masuk kedalam TPP, maka Indonesia akan menjadi pendatang baru (newcomer), sementara untuk menjadi anggota baru mesti mendapat persetujuan dari anggota lama. Disini timbul potensi yang bisa merugikan, sebab pendatang baru juga harus memenuhi syarat-syarat tambahan yang tidak diterapkan pada anggota lama.
Lebih dari itu, sebagai pendatang baru Indonesia berada dalam posisi yang lebih lemah daripada anggota lain, sebab tidak dapat menentukan agenda kegiatan bersama. Indonesia juga tidak bisa melakukan negosiasi mengenai aturan-aturan yang telah ditetapkan oleh anggota lama.
Demikian karakteristik TPP dan beberapa poin yang perlu dipertimbangkan oleh Indonesia apabila ingin bergabung didalamnya. **
ARTIKEL TERKAIT :
Menelisik Hubungan Kerjasama ASEAN-Amerika Serikat
Mencermati Perkembangan Kekuatan Ekonomi China
Konsep dan Permasalahan dalam Perdagangan Internasional
Peluang dan Tantangan ASEAN Dalam Perekonomian Global
Tidak ada komentar:
Posting Komentar