Dalam artikel sebelumnya telah dibahas tentang Faktor Lingkungan Dalam Perekonomian. Masih dalam hubungannya dengan topik tersebut, tulisan ini akan menyajikan pemahaman dasar tentang salah satu cabang ilmu ekonomi yang berkaitan dengan lingkungan, yakni environmental economics.
Beberapa pihak masih merancukan konsep environmental economics dengan ecology. Untuk itu perlu dicatat bahwa kedua disiplin ilmu tersebut berbeda dalam berbagai perspektif. Jika environmental economics merupakan cabang dari ilmu ekonomi, maka ecology menginduk pada ilmu biologi. Oleh karenanya, ulasan ini semata-mata mengambil sudut pandang environmental economics.
Sejak beberapa dekade terakhir, ilmu ekonomi mengalami perkembangan seiring kemajuan teknologi dan munculnya permasalahan aktual yang belum terantisipasi sebelumnya. Perkembangan itu diantaranya berupa perhatian yang lebih intensif pada generasi masa depan (future generation) dan masalah lingkungan (environmental issues). Oleh karena itu para ekonom memasukkan materi-materi tersebut dalam konsep dan formulasi ekonomi.
Secara sederhana bisa digambarkan bahwa ilmu ekonomi konvensional menitikberatkan perhatian pada produksi, alokasi, distribusi, dan konsumsi sumberdaya yang tersedia untuk memenuhi kebutuhan. Adapun prinsip-prinsip dasar yang diterapkan dalam ilmu ekonomi konvensional antara lain efisiensi, maksimalisasi profit, serta optimalisasi benefit.
Sementara dalam kajian environmental economics, selain pertimbangan tersebut diatas, diperhatikan pula faktor kelangkaan sumber daya (scarcity of resources) dan 'eksternalitas' dari suatu tindakan ekonomi (dalam bahasa sederhana, eksternalitas bisa diartikan sebagai efek samping yang harus ditanggung oleh pihak ketiga/pihak lain atas suatu tindakan ekonomi; namun demikian, dalam konsep ekonomi, eksternalitas tidak mesti bersifat negatif, jadi tergantung pada konteksnya).
Adapun alasan faktor-faktor tersebut menjadi pertimbangan adalah untuk menyeimbangkan (balancing) antara biaya dengan manfaat dari suatu kegiatan ekonomi, atau dengan kata lain memperhitungkan besarnya kerugian yang muncul akibat suatu kegiatan ekonomi dan membayarkan sejumlah kompensasi atas kerugian tersebut.
Sebagai contoh, ada sebuah pabrik kertas disalah satu sudut kota. Dalam kegiatannya, pabrik ini menimbulkan kebisingan yang berasal dari suara mesin produksi. Selain itu pabrik juga mengeluarkan asap dari cerobong yang menimbulkan polusi udara.
Pada kasus ini, suara gaduh dan polusi udara itulah yang disebut sebagai eksternalitas, dalam hal ini bersifat negatif. Mengapa demikian? Karena masyarakat kota tersebut ikut menerima dampak suara bising dan menghirup udara yang terpolusi, meskipun tidak menghendakinya.
Dari hal tersebut, apabila dilihat dari sudut pandang environmental economics, atas kegiatan pabrik yang menimbulkan dampak negatif, harus ada kompensasi yang dibayarkan sebagai pengganti kerugian. Kompensasi itu bisa berupa regulasi (oleh pemerintah pusat atau daerah) yang mengharuskan pemilik/penanggungjawab pabrik untuk membangun taman kota disekitar area pabrik atau membayar dana pemeliharaan kebersihan kota, dan sebagainya.
Contoh lain, misalnya kegiatan merokok yang dilakukan oleh seseorang. Dalam hal ini, perokok mendapatkan kenikmatan dari kegiatannya menghisap rokok, sementara ada orang-orang disekitarnya yang bukan perokok ikut menghirup asap rokok tersebut. Seperti contoh sebelumnya, karena ada yang dirugikan akibat asap rokok yang ditimbulkan oleh perokok, maka harus ada kompensasi yang harus dibayar.
Adapun bentuk kompensasi tersebut bisa berwujud peraturan tertentu, antara lain:
Lantas timbul pertanyaan, mengapa tidak memilih menutup pabrik kertas dan pabrik rokok (karena jelas-jelas menimbulkan kerugian)? Alasannya sederhana, karena secara ekonomi, pabrik kertas dan pabrik rokok ikut berperan dalam aktivitas perekonomian negara, sekaligus memberikan kontribusi pada pendapatan nasional. Apalagi bila mempertimbangkan jumlah penyerapan tenaga kerja yang dihasilkan oleh kegiatan ekonomi tersebut.
Dalam realita, hal-hal yang menjadi pokok perdebatan, utamanya menyangkut masalah asas keadilan dari setiap pihak (baik pelaku kegiatan ekonomi, maupun pihak yang terdampak akibat kegiatan tersebut) yang tidak mudah untuk dirumuskan.
Pada akhirnya memang demikianlah prinsip dasar ilmu ekonomi, yakni memberdayakan (mengorbankan) sumberdaya yang ada untuk memperoleh manfaat yang sebesar-besarnya. **
ARTIKEL TERKAIT :
Belajar dari Pengelolaan Sampah di Jepang
Menakar Kebutuhan Sumberdaya Energi di Masa Depan
Mencermati Aktivitas Pembalakan Liar (Illegal Logging), Kejahatan Lingkungan sekaligus Kejahatan Kemanusiaan
Mempersoalkan Aktivitas Illegal, Unreported, and Unregulated (IUU) Fishing
Beberapa pihak masih merancukan konsep environmental economics dengan ecology. Untuk itu perlu dicatat bahwa kedua disiplin ilmu tersebut berbeda dalam berbagai perspektif. Jika environmental economics merupakan cabang dari ilmu ekonomi, maka ecology menginduk pada ilmu biologi. Oleh karenanya, ulasan ini semata-mata mengambil sudut pandang environmental economics.
Sejak beberapa dekade terakhir, ilmu ekonomi mengalami perkembangan seiring kemajuan teknologi dan munculnya permasalahan aktual yang belum terantisipasi sebelumnya. Perkembangan itu diantaranya berupa perhatian yang lebih intensif pada generasi masa depan (future generation) dan masalah lingkungan (environmental issues). Oleh karena itu para ekonom memasukkan materi-materi tersebut dalam konsep dan formulasi ekonomi.
Secara sederhana bisa digambarkan bahwa ilmu ekonomi konvensional menitikberatkan perhatian pada produksi, alokasi, distribusi, dan konsumsi sumberdaya yang tersedia untuk memenuhi kebutuhan. Adapun prinsip-prinsip dasar yang diterapkan dalam ilmu ekonomi konvensional antara lain efisiensi, maksimalisasi profit, serta optimalisasi benefit.
Sementara dalam kajian environmental economics, selain pertimbangan tersebut diatas, diperhatikan pula faktor kelangkaan sumber daya (scarcity of resources) dan 'eksternalitas' dari suatu tindakan ekonomi (dalam bahasa sederhana, eksternalitas bisa diartikan sebagai efek samping yang harus ditanggung oleh pihak ketiga/pihak lain atas suatu tindakan ekonomi; namun demikian, dalam konsep ekonomi, eksternalitas tidak mesti bersifat negatif, jadi tergantung pada konteksnya).
Adapun alasan faktor-faktor tersebut menjadi pertimbangan adalah untuk menyeimbangkan (balancing) antara biaya dengan manfaat dari suatu kegiatan ekonomi, atau dengan kata lain memperhitungkan besarnya kerugian yang muncul akibat suatu kegiatan ekonomi dan membayarkan sejumlah kompensasi atas kerugian tersebut.
Sebagai contoh, ada sebuah pabrik kertas disalah satu sudut kota. Dalam kegiatannya, pabrik ini menimbulkan kebisingan yang berasal dari suara mesin produksi. Selain itu pabrik juga mengeluarkan asap dari cerobong yang menimbulkan polusi udara.
Pada kasus ini, suara gaduh dan polusi udara itulah yang disebut sebagai eksternalitas, dalam hal ini bersifat negatif. Mengapa demikian? Karena masyarakat kota tersebut ikut menerima dampak suara bising dan menghirup udara yang terpolusi, meskipun tidak menghendakinya.
Dari hal tersebut, apabila dilihat dari sudut pandang environmental economics, atas kegiatan pabrik yang menimbulkan dampak negatif, harus ada kompensasi yang dibayarkan sebagai pengganti kerugian. Kompensasi itu bisa berupa regulasi (oleh pemerintah pusat atau daerah) yang mengharuskan pemilik/penanggungjawab pabrik untuk membangun taman kota disekitar area pabrik atau membayar dana pemeliharaan kebersihan kota, dan sebagainya.
Contoh lain, misalnya kegiatan merokok yang dilakukan oleh seseorang. Dalam hal ini, perokok mendapatkan kenikmatan dari kegiatannya menghisap rokok, sementara ada orang-orang disekitarnya yang bukan perokok ikut menghirup asap rokok tersebut. Seperti contoh sebelumnya, karena ada yang dirugikan akibat asap rokok yang ditimbulkan oleh perokok, maka harus ada kompensasi yang harus dibayar.
Adapun bentuk kompensasi tersebut bisa berwujud peraturan tertentu, antara lain:
- menetapkan pajak/cukai yang tinggi pada produk rokok.
- dari pendapatan pajak/cukai yang diperoleh, sebagian digunakan untuk membangun sarana kesehatan (puskesmas, rumah sakit), atau kawasan terbuka hijau (green area) sebagai paru-paru kota.
- perusahaan rokok diwajibkan menyisihkan keuntungan untuk membuat tempat khusus untuk merokok (smoking area).
Lantas timbul pertanyaan, mengapa tidak memilih menutup pabrik kertas dan pabrik rokok (karena jelas-jelas menimbulkan kerugian)? Alasannya sederhana, karena secara ekonomi, pabrik kertas dan pabrik rokok ikut berperan dalam aktivitas perekonomian negara, sekaligus memberikan kontribusi pada pendapatan nasional. Apalagi bila mempertimbangkan jumlah penyerapan tenaga kerja yang dihasilkan oleh kegiatan ekonomi tersebut.
Dalam realita, hal-hal yang menjadi pokok perdebatan, utamanya menyangkut masalah asas keadilan dari setiap pihak (baik pelaku kegiatan ekonomi, maupun pihak yang terdampak akibat kegiatan tersebut) yang tidak mudah untuk dirumuskan.
Pada akhirnya memang demikianlah prinsip dasar ilmu ekonomi, yakni memberdayakan (mengorbankan) sumberdaya yang ada untuk memperoleh manfaat yang sebesar-besarnya. **
ARTIKEL TERKAIT :
Belajar dari Pengelolaan Sampah di Jepang
Menakar Kebutuhan Sumberdaya Energi di Masa Depan
Mencermati Aktivitas Pembalakan Liar (Illegal Logging), Kejahatan Lingkungan sekaligus Kejahatan Kemanusiaan
Mempersoalkan Aktivitas Illegal, Unreported, and Unregulated (IUU) Fishing
Tidak ada komentar:
Posting Komentar