Berbicara mengenai gender dalam pembangunan, topik diskusi selalu berkaitan dengan masalah gender gap/gender inequality (ketidaksetaraan antara perempuan dengan laki-laki). Gender gap ini mencakup berbagai bidang, diantaranya: pendidikan, kesehatan, wewenang dalam pengambilan keputusan, kesempatan berpartisipasi dalam komunitas masyarakat, dan sebagainya.
Persoalan gender sebenarnya sudah lama dipelajari, namun sampai dengan saat ini isu tersebut tetap menjadi perhatian utama. Hal ini disebabkan masih munculnya permasalahan-permasalahan gender diberbagai belahan dunia. Tulisan ini akan mengupas tentang perspektif kesetaraan gender (gender equality) dalam pembangunan.
Di negara-negara maju, dimana sudah terdapat keseimbangan peran antara kaum perempuan dan laki-laki, kesadaran akan kesetaraaan gender menjadi sesuatu yang jamak dijumpai. Dari kacamata sosial, baik perempuan maupun laki-laki memiliki pandangan egalitarianisme (meyakini bahwa setiap individu bersamaan hak-haknya dalam kehidupan sosial, politik, dan ekonomi).
Walaupun tidak berarti nihil persoalan, tetapi kesadaran setiap individu memungkinkan terciptanya keadaan yang lebih kondusif. Lingkungan seperti ini memberikan kesempatan yang setara bagi perempuan untuk berpartisipasi aktif dan memiliki kewenangan dalam organisasi kemasyarakatan, sektor swasta/usaha, maupun instansi pemerintah.
Namun tidak demikian dengan yang terjadi di negara berkembang dan negara terbelakang. Di negara-negara ini, perempuan lebih diposisikan pada peran domestik (menjaga rumah, menjadi ibu rumah tangga), tanpa memberikan kesempatan untuk mengembangkan potensi diri. Perlu ditekankan juga bahwa ini tidak berarti peran domestik tidak/kurang penting.
Persoalan menjadi kian rumit, sebab di beberapa wilayah, hal yang berkaitan dengan peran perempuan dan laki-laki merupakan tatanan budaya yang diwariskan secara turun-temurun. Dalam budaya yang bersifat patriarkal (keyakinan bahwa sistem sosial itu dikontrol sepenuhnya oleh laki-laki), potensi terjadi gender gap akan sangat kentara. Dalam sistem seperti ini, perbedaan perlakuan antara perempuan dan laki-laki lebih merupakan hasil konstruksi sosial dan budaya, bukan semata-mata karena perbedaan biologis.
Dalam penelitiannya, Tasli menegaskan bahwa kesetaraan gender adalah mustahil tercapai dalam sistem ekonomi, politik, dan budaya yang telah berlaku sebelumnya. Studi tersebut menyatakan bahwa dalam pemberdayaan (empowerment) mengandung unsur kata ‘power’, atau kendali.
Oleh karenanya, kesetaraan itu akan mulai terlihat apabila kaum perempuan memiliki kendali yang lebih besar, baik dalam sistem politik dan ekonomi, serta dalam pengambilan keputusan (Tasli. A Conceptual Framework for Gender and Development Studies: From Welfare to Empowerment, 2007).
Studi lain menambahkan bahwa inti dari pemberdayaan perempuan (woman empowerment) menuju kesetaraan gender tidak berarti bahwa perempuan mengambil alih kendali yang sebelumnya dipegang oleh laki-laki. Yang dimaksudkan adalah pemahaman yang lebih baik menyangkut hubungan yang seimbang dari kedua belah pihak. Keseimbangan itu termanifestasi dalam rasa percaya diri (self confidence), kemampuan dalam mengelola (organize), serta kemampuan dalam mengambil keputusan (decision making) (Reeves and Baden. Gender and Development: Concepts and Definitions, Institute of Development Studies, 2000).
Adapun upaya-upaya untuk meningkatkan peran kaum perempuan dalam pembangunan bisa ditempuh dengan berbagai cara, yaitu:
Sebagai catatan penting, kesetaraan gender (gender equality) tidak berarti pengambilalihan tanggungjawab dari laki-laki kepada perempuan, melainkan menempatkan posisi perempuan setara dengan laki-laki, baik dalam pendidikan, layanan kesehatan, kesempatan untuk bekerja, berpartisipasi dalam organisasi masyarakat, serta menentukan pilihan terbaik bagi dirinya sendiri.
Disamping itu, sebagian permasalahan terkait gender cenderung merupakan bentuk tatanan budaya yang sudah tertanam turun-temurun, sehingga tidak mudah untuk ditemukan solusinya. Oleh karenanya, peranan pemerintah dan organisasi masyarakat sangat diperlukan dalam menumbuhkan kesadaran akan pentingnya kesetaraan gender, sebab pembangunan menuju kesejahteraan akan lebih cepat terealisasi jika setiap pihak bekerjasama tanpa memandang perbedaan gender. **
ARTIKEL TERKAIT :
Peran Keluarga Berencana (Family Planning) dalam Upaya Mengendalikan Populasi
Hakikat Pembangunan Manusia (Human Development)
Kesehatan, Pendidikan, dan Kesetaraan Gender dalam Sustainable Development Goals
Mengenal Arti dan Tujuan SDGs (the Sustainable Development Goals): mewujudkan pembangunan yang berkesinambungan
Persoalan gender sebenarnya sudah lama dipelajari, namun sampai dengan saat ini isu tersebut tetap menjadi perhatian utama. Hal ini disebabkan masih munculnya permasalahan-permasalahan gender diberbagai belahan dunia. Tulisan ini akan mengupas tentang perspektif kesetaraan gender (gender equality) dalam pembangunan.
Di negara-negara maju, dimana sudah terdapat keseimbangan peran antara kaum perempuan dan laki-laki, kesadaran akan kesetaraaan gender menjadi sesuatu yang jamak dijumpai. Dari kacamata sosial, baik perempuan maupun laki-laki memiliki pandangan egalitarianisme (meyakini bahwa setiap individu bersamaan hak-haknya dalam kehidupan sosial, politik, dan ekonomi).
Walaupun tidak berarti nihil persoalan, tetapi kesadaran setiap individu memungkinkan terciptanya keadaan yang lebih kondusif. Lingkungan seperti ini memberikan kesempatan yang setara bagi perempuan untuk berpartisipasi aktif dan memiliki kewenangan dalam organisasi kemasyarakatan, sektor swasta/usaha, maupun instansi pemerintah.
Namun tidak demikian dengan yang terjadi di negara berkembang dan negara terbelakang. Di negara-negara ini, perempuan lebih diposisikan pada peran domestik (menjaga rumah, menjadi ibu rumah tangga), tanpa memberikan kesempatan untuk mengembangkan potensi diri. Perlu ditekankan juga bahwa ini tidak berarti peran domestik tidak/kurang penting.
Persoalan menjadi kian rumit, sebab di beberapa wilayah, hal yang berkaitan dengan peran perempuan dan laki-laki merupakan tatanan budaya yang diwariskan secara turun-temurun. Dalam budaya yang bersifat patriarkal (keyakinan bahwa sistem sosial itu dikontrol sepenuhnya oleh laki-laki), potensi terjadi gender gap akan sangat kentara. Dalam sistem seperti ini, perbedaan perlakuan antara perempuan dan laki-laki lebih merupakan hasil konstruksi sosial dan budaya, bukan semata-mata karena perbedaan biologis.
Dalam penelitiannya, Tasli menegaskan bahwa kesetaraan gender adalah mustahil tercapai dalam sistem ekonomi, politik, dan budaya yang telah berlaku sebelumnya. Studi tersebut menyatakan bahwa dalam pemberdayaan (empowerment) mengandung unsur kata ‘power’, atau kendali.
Oleh karenanya, kesetaraan itu akan mulai terlihat apabila kaum perempuan memiliki kendali yang lebih besar, baik dalam sistem politik dan ekonomi, serta dalam pengambilan keputusan (Tasli. A Conceptual Framework for Gender and Development Studies: From Welfare to Empowerment, 2007).
Studi lain menambahkan bahwa inti dari pemberdayaan perempuan (woman empowerment) menuju kesetaraan gender tidak berarti bahwa perempuan mengambil alih kendali yang sebelumnya dipegang oleh laki-laki. Yang dimaksudkan adalah pemahaman yang lebih baik menyangkut hubungan yang seimbang dari kedua belah pihak. Keseimbangan itu termanifestasi dalam rasa percaya diri (self confidence), kemampuan dalam mengelola (organize), serta kemampuan dalam mengambil keputusan (decision making) (Reeves and Baden. Gender and Development: Concepts and Definitions, Institute of Development Studies, 2000).
Adapun upaya-upaya untuk meningkatkan peran kaum perempuan dalam pembangunan bisa ditempuh dengan berbagai cara, yaitu:
- Melalui pendidikan dan keterampilan. Hal ini tidak hanya berdampak positif pada produktivitas kerja, namun juga bisa menunda perkawinan usia dini (early marriage), menekan laju angka kelahiran, serta meningkatkan kesejahteraan keluarga. Selain itu, pengetahuan yang dimiliki perempuan memungkinkan mereka mendidik anak-anak mereka dengan lebih sehat, cerdas, dan tanggap situasi.
- Melalui peningkatan kesehatan. Dengan meningkatnya kesadaran akan pentingnya kesehatan, kaum perempuan akan berupaya untuk memberikan nutrisi yang baik pada keluarga mereka. Kemudian bila seorang perempuan/ibu berada pada kondisi sehat, maka diyakini akan memberi dampak positif pula pada anak-anaknya.
- Melalui partisipasi aktif dalam komunitas. Dengan diberikannya kesempatan kepada perempuan dalam komunitas, maka akan meningkatkan kemampuannya dalam memformulasikan ide dan menyampaikan pendapat. Selain itu mereka juga akan memiliki kemampuan untuk menganalisa, mengorganisasi, dan mengambil keputusan.
- Penyediaan akses kepada sumberdaya produksi. Akses ini memungkinkan perempuan memiliki tanggungjawab dan wewenang lebih dalam menentukan pilihan-pilihan untuk pencapaian tujuan.
Sebagai catatan penting, kesetaraan gender (gender equality) tidak berarti pengambilalihan tanggungjawab dari laki-laki kepada perempuan, melainkan menempatkan posisi perempuan setara dengan laki-laki, baik dalam pendidikan, layanan kesehatan, kesempatan untuk bekerja, berpartisipasi dalam organisasi masyarakat, serta menentukan pilihan terbaik bagi dirinya sendiri.
Disamping itu, sebagian permasalahan terkait gender cenderung merupakan bentuk tatanan budaya yang sudah tertanam turun-temurun, sehingga tidak mudah untuk ditemukan solusinya. Oleh karenanya, peranan pemerintah dan organisasi masyarakat sangat diperlukan dalam menumbuhkan kesadaran akan pentingnya kesetaraan gender, sebab pembangunan menuju kesejahteraan akan lebih cepat terealisasi jika setiap pihak bekerjasama tanpa memandang perbedaan gender. **
ARTIKEL TERKAIT :
Peran Keluarga Berencana (Family Planning) dalam Upaya Mengendalikan Populasi
Hakikat Pembangunan Manusia (Human Development)
Kesehatan, Pendidikan, dan Kesetaraan Gender dalam Sustainable Development Goals
Mengenal Arti dan Tujuan SDGs (the Sustainable Development Goals): mewujudkan pembangunan yang berkesinambungan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar