Artikel ini masih erat kaitannya dengan isu-isu yang mengemuka dalam bonus demografi (demographic bonus) yang kita ulas sebelumnya. Kita akan mempelajari fenomena unik yang terjadi di Jepang, yakni penurunan jumlah penduduk yang terjadi dari tahun ke tahun, terutama terkait faktor penyebab timbulnya hal tersebut, dan upaya pemerintah setempat mengatasinya.
Apabila dibelahan dunia lain, terutama di negara berkembang dan negara miskin, permasalahan tentang populasi biasanya mengenai ledakan jumlah penduduk karena tingginya angka kelahiran (fertility rate), maka yang terjadi di Jepang justru sebaliknya.
Penelitian menunjukkan bahwa penurunan populasi untuk usia kerja (15-64 tahun) per tahun rata-rata mencapai satu juta orang, dan diprediksikan akan terus menurun hingga 17% sampai dengan 2030.
Perlu diketahui bahwa total penduduk Jepang pada 2015 mencapai 126.5 juta jiwa, akan merosot menjadi sekitar 116.5 juta jiwa di 2030, dan semakin menyusut menjadi 97 juta jiwa di 2050 (National Institute of Population and Social Security Research. Population Projections for Japan: 2011 – 2060, Januari 2012).
Pertanyaan yang mengemuka adalah bagaimana penurunan jumlah penduduk bisa terjadi. Di negara berkembang dan negara miskin, terutama yang sedang mengalami konflik, terjadinya generasi yang hilang (lost generation) cenderung diakibatkan oleh perang, konflik bersenjata, serta pembumi-hangusan (genocide) terhadap kelompok masyarakat tertentu.
Sementara yang terjadi di Jepang, penurunan populasi disebabkan oleh faktor tingginya usia harapan hidup (life expectancy), yang dibarengi dengan menurunnya jumlah angka kelahiran (fertility rate).
Faktor usia harapan hidup utamanya dipengaruhi oleh kesadaran pentingnya kesehatan, serta fasilitas dan dana kesehatan yang disediakan oleh pemerintah.
Penurunan jumlah angka kelahiran juga disebabkan adanya pemikiran dari generasi muda di Jepang yang lebih mengutamakan karir dan pekerjaan profesional daripada membangun keluarga.
Selain itu, individu-individu yang telah berkeluarga cenderung mempunyai dedikasi yang tinggi untuk merawat anak dengan sebaik-baiknya, sehingga membuat mereka pada umumnya hanya memiliki satu anak dalam setiap keluarga.
Penyebab lain adalah terbatasnya ruang pribadi dan lahan perumahan, terutama di kota-kota besar akibat terbatasnya lahan. Hal ini menimbulkan situasi yang kurang kondusif bagi kaum muda dan pasangan baru dalam membangun keluarga.
Studi juga menunjukkan bahwa penurunan populasi di Jepang berimplikasi negatif pada produk nasional bruto (Gross National Product).
Hal ini terjadi karena penurunan populasi didominasi oleh kalangan usia kerja. Tercatat juga bahwa angkatan kerja diperkirakan mengalami penurunan sampai dengan 50% untuk 50 tahun mendatang.
Hal lain adalah, walaupun angka harapan hidup terbilang tinggi, yang memungkinkan individu-individu bisa bekerja (memperoleh penghasilan) dalam periode waktu yang lebih lama, namun tidak sebanding dengan berkurangnya angka kelahiran (sebagai faktor utama menurunnya proporsi angkatan kerja).
Sementara dari sektor rumah tangga, apabila individu/keluarga memiliki investasi atau saving yang tergolong besar, mereka cenderung tertarik untuk berinvestasi di luar Jepang.
Hal ini menimbulkan kekhawatiran terjadinya pelarian modal (Muto, et al. Macroeconomic Impact of Population Aging in Japan: A Perspective from an Overlapping Generations Model, November 2012).
Untuk menanggulangi persoalan diatas, pemerintah Jepang mengurai masalah dengan menitikberatkan pada beberapa faktor utama, yaitu meningkatkan partisipasi perempuan serta mengambil tenaga profesional dari luar negeri untuk mengisi pasar tenaga kerja domestik.
Pemerintah Jepang menyadari bahwa dari perspektif komposisi gender, terjadi gap besar dalam kaitan dengan tenaga kerja.
Gender gap ini tercermin dari data yang menyatakan hanya sekitar 38% perempuan usia kerja yang tetap berprofesi sebagai tenaga kerja setelah melahirkan.
Oleh karenanya pemerintah Jepang berupaya memfasilitasi pekerja perempuan yang sudah memiliki anak, antara lain dengan membangun pusat perawatan anak (child-care), sehingga sang ibu bisa tetap fokus dengan pekerjaan tanpa khawatir dengan perkembangan anaknya.
Cara ini juga ditempuh untuk sekaligus meningkatkan angka kelahiran bayi, karena diyakini mampu mengurangi kekhawatiran keluarga apabila memiliki lebih dari satu anak.
Upaya diatas juga dimaksudkan untuk mewujudkan kesetaraan gender; sebab menurut data resmi, tercatat hanya sekitar 2,1% perempuan memegang jabatan setingkat dewan direksi di Jepang.
Prosentase tersebut terlalu sedikit untuk negara maju seperti Jepang, dibandingkan dengan 36% di Norwegia atau 20% di Kanada dan Amerika Serikat.
Sementara di sektor pemerintahan, hanya sekitar 3,3% perempuan menduduki jabatan manajerial (Organisation for Economic Cooperation and Development. OECD Economic Surveys: Japan, April 2015).
Pemerintah Jepang juga gencar menerima pekerja asing untuk bekerja diberbagai sektor swasta yang tersedia. Meski demikian, pemerintah Jepang cenderung sangat berhati-hati dan menerapkan aturan ketat terhadap pekerja asing profesional, terutama terkait dengan kapasitas keilmuan dan kemampuan berbahasa Jepang yang mesti dikuasai sampai dengan level tertentu.
Demikian poin-poin mengenai problem penurunan populasi di Jepang serta usaha pemerintah setempat menanggulangi permasalahan tersebut. **
UPDATE ARTIKEL (Kamis, 10 Agustus 2017):
Data terbaru dari Biro Statistik Jepang (Statistics Bureau, Ministry of Internal Affairs and Communications, Japan) menunjukkan bahwa jumlah populasi penduduk Jepang per 1 Februari 2017 berada dikisaran 124.89 juta jiwa (tidak termasuk pendatang dan warga negara asing yang tinggal di Jepang); dengan rincian penduduk laki-laki sebanyak 60.80 juta dan penduduk perempuan sebesar 64.09 juta (www.stat.go.jp).
Sedangkan jika dilihat dari kelompok umur, maka jumlah penduduk kelompok umur 15-64 tahun menempati posisi terbanyak, yakni 74.71 juta; disusul kelompok usia 65 tahun keatas, yakni 34.63 juta jiwa.
Sementara jumlah penduduk kelompok usia dibawah 15 tahun bahkan berada dibawah penduduk berumur 75 tahun keatas, atau sebesar 15.54 juta jiwa.
Catatan tersebut menegaskan signifikansi penurunan jumlah populasi penduduk Jepang apabila dibandingkan dengan tahun sebelumnya. ***
UPDATE ARTIKEL (Minggu, 08 Desember 2019):
Dalam laporannya, IMF menyebutkan jika jumlah total penduduk Jepang pada 2019 mencapai 126.19 juta jiwa. Ini berarti terjadi penurunan populasi dari tahun sebelumnya yang tercatat sebanyak 126.5 juta jiwa (www.imf.org. IMF DataMapper, dikutip pada Minggu, 08 Desember 2019).
Penurunan ini menjadi indikasi penting atas problem penuaan (ageing) di negara tersebut.
Studi lain menyatakan bahwa penurunan populasi di Jepang diperkirakan akan terus terjadi. Tercatat bahwa pada 2053, jumlah penduduk Jepang diprediksi berada dibawah 100 juta jiwa.
Disatu sisi, penduduk berusia 75 tahun keatas akan meningkat pesat, dari 16.9 juta di 2016 menjadi 22.88 juta pada 2030.
Disisi lain, kelompok usia produktif (15 - 64 tahun) justru mengalami penurunan dari waktu ke waktu.
Salah satu dampaknya berupa penurunan jumlah tenaga kerja produktif, yang berimbas negatif pada produktivitas ekonomi.
Meskipun saat ini kemajuan teknologi bisa dimanfaatkan untuk mendukung peningkatan produktivitas, namun belum semua teknologi terapan bisa menggantikan tenaga kerja manusia.
Masalah produktivitas tersebut pada awalnya muncul secara spasial (terjadi di wilayah tertentu), kemudian membesar hingga menjadi persoalan nasional.
Selain itu problem penuaan juga berdampak langsung pada sektor fiskal, terutama meningkatnya anggaran yang dibutuhkan sebagai dana pensiun serta untuk mendukung sistem kesehatan bagi penduduk usia lanjut.
Tercatat bahwa biaya kesehatan nasional akan meningkat dari ¥ 40.8 triliun pada 2014, menjadi lebih dari ¥ 60 triliun di 2032.
Sementara biaya jaminan sosial akan membengkak dari ¥ 130 triliun di 2016, menjadi lebih dari ¥ 150 triliun pada 2035 (Takeshi Makita. Japan’s Economic Outlook and Challenges for 2020 and Beyond, JRI Research Journal 2017 I, April 2017).
Penelitian lain mengungkapkan jika pada 2018, jumlah populasi penduduk Jepang mencapai 126.44 juta jiwa, dengan prosentase berdasar kelompok usia sebagai berikut: usia 65 keatas (28.1%), usia 15-54 (59.7%) dan usia 0-14 tahun (12.2%).
Untuk kelompok usia 65 tahun keatas diproyeksikan meningkat menjadi 38.1% pada 2060; sementara kelompok usia 15-64 tahun turun menjadi 51.6% dan usia 0–14 tahun menjadi 10.2%.
Hal diatas menunjukkan fakta makin menyusutnya regenerasi penduduk Jepang.
Penelitian juga menyoroti adanya kecenderungan penduduk Jepang untuk menunda melakukan pernikahan hingga umur 50 tahun (untuk laki-laki 23.4% dan perempuan 14.1%), berdasarkan data di 2015; serta peningkatan jumlah individu yang memilih untuk tidak menikah (Statistics Bureau, Ministry of Internal Affairs and Communications Japan. Statistical Handbook of Japan 2019, 2019).
Demikian perkembangan terkini terkait problem penurunan populasi penduduk di Jepang. ****
ARTIKEL TERKAIT :
Memahami Teori Pertumbuhan Populasi Thomas Robert Malthus
Upaya China Mengatasi Laju Pertumbuhan Penduduk
Pertumbuhan Populasi Penduduk Dunia beserta Permasalahannya
Memahami Dua Pengertian Bonus Demografi (Demographic Bonus)
Apabila dibelahan dunia lain, terutama di negara berkembang dan negara miskin, permasalahan tentang populasi biasanya mengenai ledakan jumlah penduduk karena tingginya angka kelahiran (fertility rate), maka yang terjadi di Jepang justru sebaliknya.
Penelitian menunjukkan bahwa penurunan populasi untuk usia kerja (15-64 tahun) per tahun rata-rata mencapai satu juta orang, dan diprediksikan akan terus menurun hingga 17% sampai dengan 2030.
Perlu diketahui bahwa total penduduk Jepang pada 2015 mencapai 126.5 juta jiwa, akan merosot menjadi sekitar 116.5 juta jiwa di 2030, dan semakin menyusut menjadi 97 juta jiwa di 2050 (National Institute of Population and Social Security Research. Population Projections for Japan: 2011 – 2060, Januari 2012).
Pertanyaan yang mengemuka adalah bagaimana penurunan jumlah penduduk bisa terjadi. Di negara berkembang dan negara miskin, terutama yang sedang mengalami konflik, terjadinya generasi yang hilang (lost generation) cenderung diakibatkan oleh perang, konflik bersenjata, serta pembumi-hangusan (genocide) terhadap kelompok masyarakat tertentu.
Sementara yang terjadi di Jepang, penurunan populasi disebabkan oleh faktor tingginya usia harapan hidup (life expectancy), yang dibarengi dengan menurunnya jumlah angka kelahiran (fertility rate).
Faktor usia harapan hidup utamanya dipengaruhi oleh kesadaran pentingnya kesehatan, serta fasilitas dan dana kesehatan yang disediakan oleh pemerintah.
Penurunan jumlah angka kelahiran juga disebabkan adanya pemikiran dari generasi muda di Jepang yang lebih mengutamakan karir dan pekerjaan profesional daripada membangun keluarga.
Selain itu, individu-individu yang telah berkeluarga cenderung mempunyai dedikasi yang tinggi untuk merawat anak dengan sebaik-baiknya, sehingga membuat mereka pada umumnya hanya memiliki satu anak dalam setiap keluarga.
Penyebab lain adalah terbatasnya ruang pribadi dan lahan perumahan, terutama di kota-kota besar akibat terbatasnya lahan. Hal ini menimbulkan situasi yang kurang kondusif bagi kaum muda dan pasangan baru dalam membangun keluarga.
Studi juga menunjukkan bahwa penurunan populasi di Jepang berimplikasi negatif pada produk nasional bruto (Gross National Product).
Hal ini terjadi karena penurunan populasi didominasi oleh kalangan usia kerja. Tercatat juga bahwa angkatan kerja diperkirakan mengalami penurunan sampai dengan 50% untuk 50 tahun mendatang.
Hal lain adalah, walaupun angka harapan hidup terbilang tinggi, yang memungkinkan individu-individu bisa bekerja (memperoleh penghasilan) dalam periode waktu yang lebih lama, namun tidak sebanding dengan berkurangnya angka kelahiran (sebagai faktor utama menurunnya proporsi angkatan kerja).
Sementara dari sektor rumah tangga, apabila individu/keluarga memiliki investasi atau saving yang tergolong besar, mereka cenderung tertarik untuk berinvestasi di luar Jepang.
Hal ini menimbulkan kekhawatiran terjadinya pelarian modal (Muto, et al. Macroeconomic Impact of Population Aging in Japan: A Perspective from an Overlapping Generations Model, November 2012).
Untuk menanggulangi persoalan diatas, pemerintah Jepang mengurai masalah dengan menitikberatkan pada beberapa faktor utama, yaitu meningkatkan partisipasi perempuan serta mengambil tenaga profesional dari luar negeri untuk mengisi pasar tenaga kerja domestik.
Pemerintah Jepang menyadari bahwa dari perspektif komposisi gender, terjadi gap besar dalam kaitan dengan tenaga kerja.
Gender gap ini tercermin dari data yang menyatakan hanya sekitar 38% perempuan usia kerja yang tetap berprofesi sebagai tenaga kerja setelah melahirkan.
Oleh karenanya pemerintah Jepang berupaya memfasilitasi pekerja perempuan yang sudah memiliki anak, antara lain dengan membangun pusat perawatan anak (child-care), sehingga sang ibu bisa tetap fokus dengan pekerjaan tanpa khawatir dengan perkembangan anaknya.
Cara ini juga ditempuh untuk sekaligus meningkatkan angka kelahiran bayi, karena diyakini mampu mengurangi kekhawatiran keluarga apabila memiliki lebih dari satu anak.
Upaya diatas juga dimaksudkan untuk mewujudkan kesetaraan gender; sebab menurut data resmi, tercatat hanya sekitar 2,1% perempuan memegang jabatan setingkat dewan direksi di Jepang.
Prosentase tersebut terlalu sedikit untuk negara maju seperti Jepang, dibandingkan dengan 36% di Norwegia atau 20% di Kanada dan Amerika Serikat.
Sementara di sektor pemerintahan, hanya sekitar 3,3% perempuan menduduki jabatan manajerial (Organisation for Economic Cooperation and Development. OECD Economic Surveys: Japan, April 2015).
Pemerintah Jepang juga gencar menerima pekerja asing untuk bekerja diberbagai sektor swasta yang tersedia. Meski demikian, pemerintah Jepang cenderung sangat berhati-hati dan menerapkan aturan ketat terhadap pekerja asing profesional, terutama terkait dengan kapasitas keilmuan dan kemampuan berbahasa Jepang yang mesti dikuasai sampai dengan level tertentu.
Demikian poin-poin mengenai problem penurunan populasi di Jepang serta usaha pemerintah setempat menanggulangi permasalahan tersebut. **
UPDATE ARTIKEL (Kamis, 10 Agustus 2017):
Data terbaru dari Biro Statistik Jepang (Statistics Bureau, Ministry of Internal Affairs and Communications, Japan) menunjukkan bahwa jumlah populasi penduduk Jepang per 1 Februari 2017 berada dikisaran 124.89 juta jiwa (tidak termasuk pendatang dan warga negara asing yang tinggal di Jepang); dengan rincian penduduk laki-laki sebanyak 60.80 juta dan penduduk perempuan sebesar 64.09 juta (www.stat.go.jp).
Sedangkan jika dilihat dari kelompok umur, maka jumlah penduduk kelompok umur 15-64 tahun menempati posisi terbanyak, yakni 74.71 juta; disusul kelompok usia 65 tahun keatas, yakni 34.63 juta jiwa.
Sementara jumlah penduduk kelompok usia dibawah 15 tahun bahkan berada dibawah penduduk berumur 75 tahun keatas, atau sebesar 15.54 juta jiwa.
Catatan tersebut menegaskan signifikansi penurunan jumlah populasi penduduk Jepang apabila dibandingkan dengan tahun sebelumnya. ***
UPDATE ARTIKEL (Minggu, 08 Desember 2019):
Dalam laporannya, IMF menyebutkan jika jumlah total penduduk Jepang pada 2019 mencapai 126.19 juta jiwa. Ini berarti terjadi penurunan populasi dari tahun sebelumnya yang tercatat sebanyak 126.5 juta jiwa (www.imf.org. IMF DataMapper, dikutip pada Minggu, 08 Desember 2019).
Penurunan ini menjadi indikasi penting atas problem penuaan (ageing) di negara tersebut.
Studi lain menyatakan bahwa penurunan populasi di Jepang diperkirakan akan terus terjadi. Tercatat bahwa pada 2053, jumlah penduduk Jepang diprediksi berada dibawah 100 juta jiwa.
Disatu sisi, penduduk berusia 75 tahun keatas akan meningkat pesat, dari 16.9 juta di 2016 menjadi 22.88 juta pada 2030.
Disisi lain, kelompok usia produktif (15 - 64 tahun) justru mengalami penurunan dari waktu ke waktu.
Salah satu dampaknya berupa penurunan jumlah tenaga kerja produktif, yang berimbas negatif pada produktivitas ekonomi.
Meskipun saat ini kemajuan teknologi bisa dimanfaatkan untuk mendukung peningkatan produktivitas, namun belum semua teknologi terapan bisa menggantikan tenaga kerja manusia.
Masalah produktivitas tersebut pada awalnya muncul secara spasial (terjadi di wilayah tertentu), kemudian membesar hingga menjadi persoalan nasional.
Selain itu problem penuaan juga berdampak langsung pada sektor fiskal, terutama meningkatnya anggaran yang dibutuhkan sebagai dana pensiun serta untuk mendukung sistem kesehatan bagi penduduk usia lanjut.
Tercatat bahwa biaya kesehatan nasional akan meningkat dari ¥ 40.8 triliun pada 2014, menjadi lebih dari ¥ 60 triliun di 2032.
Sementara biaya jaminan sosial akan membengkak dari ¥ 130 triliun di 2016, menjadi lebih dari ¥ 150 triliun pada 2035 (Takeshi Makita. Japan’s Economic Outlook and Challenges for 2020 and Beyond, JRI Research Journal 2017 I, April 2017).
Penelitian lain mengungkapkan jika pada 2018, jumlah populasi penduduk Jepang mencapai 126.44 juta jiwa, dengan prosentase berdasar kelompok usia sebagai berikut: usia 65 keatas (28.1%), usia 15-54 (59.7%) dan usia 0-14 tahun (12.2%).
Untuk kelompok usia 65 tahun keatas diproyeksikan meningkat menjadi 38.1% pada 2060; sementara kelompok usia 15-64 tahun turun menjadi 51.6% dan usia 0–14 tahun menjadi 10.2%.
Hal diatas menunjukkan fakta makin menyusutnya regenerasi penduduk Jepang.
Penelitian juga menyoroti adanya kecenderungan penduduk Jepang untuk menunda melakukan pernikahan hingga umur 50 tahun (untuk laki-laki 23.4% dan perempuan 14.1%), berdasarkan data di 2015; serta peningkatan jumlah individu yang memilih untuk tidak menikah (Statistics Bureau, Ministry of Internal Affairs and Communications Japan. Statistical Handbook of Japan 2019, 2019).
Demikian perkembangan terkini terkait problem penurunan populasi penduduk di Jepang. ****
ARTIKEL TERKAIT :
Memahami Teori Pertumbuhan Populasi Thomas Robert Malthus
Upaya China Mengatasi Laju Pertumbuhan Penduduk
Pertumbuhan Populasi Penduduk Dunia beserta Permasalahannya
Memahami Dua Pengertian Bonus Demografi (Demographic Bonus)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar