Topik tulisan kali berkenaan dengan masalah pertumbuhan populasi dalam kaitannya dengan pembangunan ekonomi. Adapun fokus ulasan yang kita pelajari adalah tentang bonus demografi (demographic bonus atau demographic dividend).
Kita akan melihat hal tersebut dari dua sudut pandang, yakni bonus demografi sebagai kekuatan yang menunjang perekonomian dan bonus demografi sebagai ancaman bagi pembangunan itu sendiri.
Pertama-tama kita akan memahami pengertian bonus demografi. Menurut Ross, bonus demografi merupakan suatu keadaan dimana terjadi penurunan angka kelahiran dalam jangka panjang, sehingga menurunkan proporsi penduduk usia muda.
Kondisi tersebut berpotensi mengurangi beban investasi yang harus dikeluarkan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat.
Oleh karenanya, sumber investasi yang tersedia bisa digunakan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan keluarga (Ross, J. Understanding the Demographic Dividend: Policy Project, September 2004).
Selain itu, pola terjadinya bonus demografi bervariasi sesuai dengan kondisi umum wilayah dan tatanan negara, diantaranya:
Penggambaran sederhana dari bonus demografi diterangkan sebagai berikut:
Pertama, meningkatnya usia harapan hidup (life expectancy) yang dibarengi dengan menurunnya angka kematian (mortality rate), terkait erat dengan membaiknya sarana dan prasarana kesehatan, pelayanan kesehatan masyarakat, serta ilmu pengetahuan di bidang kedokteran.
Sementara, semakin tinggi nilai gizi dan asupan nutrisi yang dikonsumsi anak-anak dalam masa pertumbuhan, akan memungkinkan mereka memiliki usia harapan hidup yang lebih tinggi daripada generasi sebelumnya.
Usia harapan hidup yang tinggi, kondisi kesehatan yang prima, serta tingkat pendidikan yang layak, pada gilirannya akan berkorelasi positif dengan produktivitas yang tergambar pada pertumbuhan ekonomi dan pendapatan nasional.
Dari uraian diatas bisa ditarik benang merah bahwa elemen penting yang menjadi pondasi bonus demografi adalah pendidikan dan layanan kesehatan bagi masyarakat.
Namun demikikan, terdapat pendapat lain yang menyatakan bahwa bonus demografi hanya bisa bermanfaat apabila pasar tenaga kerja berada pada kondisi terserap penuh (full-employment) dan dalam produktivitas yang optimal. Apabila ketentuan tersebut tidak terpenuhi, maka keberadaan bonus demografi justru membawa dampak negatif.
Lebih jauh, kerugian yang timbul jika angkatan tenaga kerja tidak terserap di pasar ialah bertambahnya angka pengangguran. Tingginya angka pengangguran akan membebani perekonomian dari berbagai sisi, termasuk konsumsi dan investasi. Sementara dari sisi non-ekonomi, pengangguran yang tinggi juga menimbulkan masalah sosial, termasuk pada peningkatan angka kriminalitas.
Ada satu kasus menarik di Jepang, yang meskipun masyarakatnya memiliki tingkat kesehatan dan asupan nutrisi berkecukupan, serta usia harapan hidup yang tinggi, namun tidak diimbangi dengan pertumbuhan angka kelahiran. Hal itu terjadi karena kaum usia muda di negara tersebut lebih memilih berkarier daripada berkeluarga dan memiliki anak.
Akibatnya, Jepang mengalami pertumbuhan penduduk negatif atau mengalami penurunan jumlah penduduk dari tahun ke tahun. Fenomena ini sudah semestinya menjadi perhatian banyak negara lain, supaya tidak berefek buruk bagi pembangunan (Perlu dicatat: penurunan proporsi penduduk usia muda tidak identik dengan penurunan pertumbuhan penduduk secara total).
Dari uraian diatas bisa disimpulkan bahwa bonus demografi berpotensi memberikan manfaat jangka panjang bagi pembangunan negara, apabila dilandasi dengan sistem pendidikan dan pelayanan kesehatan yang layak bagi masyarakat.
Selain itu, kebijakan pemerintah terkait pertumbuhan populasi dan angka kelahiran, termasuk program keluarga berencana (family-planning program), sudah selayaknya diterapkan secara efektif, sehingga bisa mencegah dampak negatif pertumbuhan penduduk bagi pembangunan. **
UPDATE ARTIKEL (Selasa, 20 Februari 2018):
Pada perkembangan terkini, ada fenomena yang marak terjadi di berbagai negara, yakni semakin banyaknya keluarga yang ingin memiliki lebih sedikit anak, jika dibandingkan dengan generasi sebelumnya. Faktor ini menjadi salah satu penyebab utama menurunnya populasi generasi muda.
Selain itu, semakin meningkatnya teknologi di bidang kesehatan yang berkontribusi pada kemampuan penanganan penyakit dan masalah kesehatan lainnya, turut berkontribusi pada meningkatnya usia harapan hidup. Hal ini secara langsung menambah jumlah populasi generasi usia lanjut (diatas 60 tahun).
Dalam salah satu studinya, UNFPA (United Nations Population Fund) menegaskan bahwa jumlah generasi muda berusia kurang dari 10 tahun di seluruh dunia pada 2016 berkisar diangka 125 juta.
Generasi ini, (yang juga disebut sebagai Generasi SDGs (the SDGs Generation)) diyakini akan memainkan peranan penting dalam upaya mewujudkan agenda pembangunan jangka panjang seperti yang tertuang dalam the Sustainable Development Goals (SDGs), terutama terkait dengan pengentasan kemiskinan, pencapaian pertumbuhan ekonomi yang terbuka, serta peningkatan kesehatan dan kesetaraan gender.
Apabila dilihat dari sebaran geografisnya, maka terdapat sekitar 50.40% dari generasi tersebut yang tinggal di wilayah Asia-Pasifik, 8.69% di Amerika Latin dan Karibia, 5.81% di wilayah Arab, dan 3% di Eropa Timur dan sebagian Asia Tengah.
Namun demikian, lebih dari 80% generasi muda tersebut tinggal di negara berkembang atau negara miskin. Selain itu, ada 50% dari mereka hidup di wilayah dimana persoalan kesetaraan gender menjadi masalah utama negara; hanya terdapat sekitar 20% dari anak-anak tersebut yang berada di negara yang problem kesetaraan gender tergolong kecil (minor).
Sementara jika dilihat dari perspektif negara, mayoritas generasi muda tersebut tinggal di India (20%) dan China (12.3%). UNFPA juga mencatat bahwa di India, dari total populasi sebesar 1.32 miliar pada 2016, kelompok populasi usia 0-14 tahun ada sekitar 28% dan usia 10-24 tahun sebesar 28%; sedangkan di China, dari total populasi 1.38 miliar di 2016, persentase kelompok usia 0-14 tahun sebesar 17% dan usia 10-24 tahun, 18%.
Adapun ancaman-ancaman yang berpotensi membahayakan potensi generasi muda tersebut dalam pembangunan, antara lain:
Lebih jauh, UNFPA mencatat bahwa di beberapa negara, anak perempuan usia 10 tahun sudah harus mempersiapkan diri untuk menjalani kehidupan pernikahan; alhasil, setiap hari, secara global terdapat sekitar 47.7 ribu anak perempuan usia dibawah 18 tahun yang sudah mengalami pernikahan.
Kondisi ini memaksa mereka tidak lagi melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi, sehingga berpotensi meningkatkan angka kemiskinan serta kerentanan terhadap masalah kesehatan, baik bagi dirinya maupun anak yang nanti dilahirkannya.
Oleh karena itu, studi menekankan pentingnya mencegah potensi persoalan diatas melalui penanaman kesadaran akan pentingnya pendidikan, termasuk pendidikan seksual, untuk mencegah terjadinya pernikahan usia dini.
Disamping itu peningkatan kesehatan (fisik, mental, maupun reproduksi), ketersediaan air bersih dan sanitasi, serta pemberian vaksinasi menjadi bagian integral untuk memaksimalkan potensi generasi muda dalam pembangunan (UNFPA. The State of World Population 2016).
Demikian perkembangan terkini terkait isu seputar bonus demografi. ***
ARTIKEL TERKAIT :
Memahami Teori Pertumbuhan Populasi Thomas Robert Malthus
Pertumbuhan Populasi Penduduk Dunia beserta Permasalahannya
Belajar dari Penurunan Populasi di Jepang
Peran Sektor Kesehatan dalam Pembangunan
Kita akan melihat hal tersebut dari dua sudut pandang, yakni bonus demografi sebagai kekuatan yang menunjang perekonomian dan bonus demografi sebagai ancaman bagi pembangunan itu sendiri.
Pertama-tama kita akan memahami pengertian bonus demografi. Menurut Ross, bonus demografi merupakan suatu keadaan dimana terjadi penurunan angka kelahiran dalam jangka panjang, sehingga menurunkan proporsi penduduk usia muda.
Kondisi tersebut berpotensi mengurangi beban investasi yang harus dikeluarkan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat.
Oleh karenanya, sumber investasi yang tersedia bisa digunakan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan keluarga (Ross, J. Understanding the Demographic Dividend: Policy Project, September 2004).
Selain itu, pola terjadinya bonus demografi bervariasi sesuai dengan kondisi umum wilayah dan tatanan negara, diantaranya:
- kinerja institusi pemerintahan, termasuk institusi hukum dan birokrasi.
- kebijakan sosial-ekonomi.
- kebebasan berpolitik.
- keterbukaan ekonomi dan sosial.
- sistem pelayanan kesehatan.
Penggambaran sederhana dari bonus demografi diterangkan sebagai berikut:
Pertama, meningkatnya usia harapan hidup (life expectancy) yang dibarengi dengan menurunnya angka kematian (mortality rate), terkait erat dengan membaiknya sarana dan prasarana kesehatan, pelayanan kesehatan masyarakat, serta ilmu pengetahuan di bidang kedokteran.
Sementara, semakin tinggi nilai gizi dan asupan nutrisi yang dikonsumsi anak-anak dalam masa pertumbuhan, akan memungkinkan mereka memiliki usia harapan hidup yang lebih tinggi daripada generasi sebelumnya.
Usia harapan hidup yang tinggi, kondisi kesehatan yang prima, serta tingkat pendidikan yang layak, pada gilirannya akan berkorelasi positif dengan produktivitas yang tergambar pada pertumbuhan ekonomi dan pendapatan nasional.
Dari uraian diatas bisa ditarik benang merah bahwa elemen penting yang menjadi pondasi bonus demografi adalah pendidikan dan layanan kesehatan bagi masyarakat.
Namun demikikan, terdapat pendapat lain yang menyatakan bahwa bonus demografi hanya bisa bermanfaat apabila pasar tenaga kerja berada pada kondisi terserap penuh (full-employment) dan dalam produktivitas yang optimal. Apabila ketentuan tersebut tidak terpenuhi, maka keberadaan bonus demografi justru membawa dampak negatif.
Lebih jauh, kerugian yang timbul jika angkatan tenaga kerja tidak terserap di pasar ialah bertambahnya angka pengangguran. Tingginya angka pengangguran akan membebani perekonomian dari berbagai sisi, termasuk konsumsi dan investasi. Sementara dari sisi non-ekonomi, pengangguran yang tinggi juga menimbulkan masalah sosial, termasuk pada peningkatan angka kriminalitas.
Ada satu kasus menarik di Jepang, yang meskipun masyarakatnya memiliki tingkat kesehatan dan asupan nutrisi berkecukupan, serta usia harapan hidup yang tinggi, namun tidak diimbangi dengan pertumbuhan angka kelahiran. Hal itu terjadi karena kaum usia muda di negara tersebut lebih memilih berkarier daripada berkeluarga dan memiliki anak.
Akibatnya, Jepang mengalami pertumbuhan penduduk negatif atau mengalami penurunan jumlah penduduk dari tahun ke tahun. Fenomena ini sudah semestinya menjadi perhatian banyak negara lain, supaya tidak berefek buruk bagi pembangunan (Perlu dicatat: penurunan proporsi penduduk usia muda tidak identik dengan penurunan pertumbuhan penduduk secara total).
Dari uraian diatas bisa disimpulkan bahwa bonus demografi berpotensi memberikan manfaat jangka panjang bagi pembangunan negara, apabila dilandasi dengan sistem pendidikan dan pelayanan kesehatan yang layak bagi masyarakat.
Selain itu, kebijakan pemerintah terkait pertumbuhan populasi dan angka kelahiran, termasuk program keluarga berencana (family-planning program), sudah selayaknya diterapkan secara efektif, sehingga bisa mencegah dampak negatif pertumbuhan penduduk bagi pembangunan. **
UPDATE ARTIKEL (Selasa, 20 Februari 2018):
Pada perkembangan terkini, ada fenomena yang marak terjadi di berbagai negara, yakni semakin banyaknya keluarga yang ingin memiliki lebih sedikit anak, jika dibandingkan dengan generasi sebelumnya. Faktor ini menjadi salah satu penyebab utama menurunnya populasi generasi muda.
Selain itu, semakin meningkatnya teknologi di bidang kesehatan yang berkontribusi pada kemampuan penanganan penyakit dan masalah kesehatan lainnya, turut berkontribusi pada meningkatnya usia harapan hidup. Hal ini secara langsung menambah jumlah populasi generasi usia lanjut (diatas 60 tahun).
Dalam salah satu studinya, UNFPA (United Nations Population Fund) menegaskan bahwa jumlah generasi muda berusia kurang dari 10 tahun di seluruh dunia pada 2016 berkisar diangka 125 juta.
Generasi ini, (yang juga disebut sebagai Generasi SDGs (the SDGs Generation)) diyakini akan memainkan peranan penting dalam upaya mewujudkan agenda pembangunan jangka panjang seperti yang tertuang dalam the Sustainable Development Goals (SDGs), terutama terkait dengan pengentasan kemiskinan, pencapaian pertumbuhan ekonomi yang terbuka, serta peningkatan kesehatan dan kesetaraan gender.
Apabila dilihat dari sebaran geografisnya, maka terdapat sekitar 50.40% dari generasi tersebut yang tinggal di wilayah Asia-Pasifik, 8.69% di Amerika Latin dan Karibia, 5.81% di wilayah Arab, dan 3% di Eropa Timur dan sebagian Asia Tengah.
Namun demikian, lebih dari 80% generasi muda tersebut tinggal di negara berkembang atau negara miskin. Selain itu, ada 50% dari mereka hidup di wilayah dimana persoalan kesetaraan gender menjadi masalah utama negara; hanya terdapat sekitar 20% dari anak-anak tersebut yang berada di negara yang problem kesetaraan gender tergolong kecil (minor).
Sementara jika dilihat dari perspektif negara, mayoritas generasi muda tersebut tinggal di India (20%) dan China (12.3%). UNFPA juga mencatat bahwa di India, dari total populasi sebesar 1.32 miliar pada 2016, kelompok populasi usia 0-14 tahun ada sekitar 28% dan usia 10-24 tahun sebesar 28%; sedangkan di China, dari total populasi 1.38 miliar di 2016, persentase kelompok usia 0-14 tahun sebesar 17% dan usia 10-24 tahun, 18%.
Adapun ancaman-ancaman yang berpotensi membahayakan potensi generasi muda tersebut dalam pembangunan, antara lain:
- menjadi korban eksploitasi fisik dan seksual.
- menjadi pekerja anak.
- menjalani pernikahan usia dini, terutama untuk anak perempuan di kawasan negara miskin.
Lebih jauh, UNFPA mencatat bahwa di beberapa negara, anak perempuan usia 10 tahun sudah harus mempersiapkan diri untuk menjalani kehidupan pernikahan; alhasil, setiap hari, secara global terdapat sekitar 47.7 ribu anak perempuan usia dibawah 18 tahun yang sudah mengalami pernikahan.
Kondisi ini memaksa mereka tidak lagi melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi, sehingga berpotensi meningkatkan angka kemiskinan serta kerentanan terhadap masalah kesehatan, baik bagi dirinya maupun anak yang nanti dilahirkannya.
Oleh karena itu, studi menekankan pentingnya mencegah potensi persoalan diatas melalui penanaman kesadaran akan pentingnya pendidikan, termasuk pendidikan seksual, untuk mencegah terjadinya pernikahan usia dini.
Disamping itu peningkatan kesehatan (fisik, mental, maupun reproduksi), ketersediaan air bersih dan sanitasi, serta pemberian vaksinasi menjadi bagian integral untuk memaksimalkan potensi generasi muda dalam pembangunan (UNFPA. The State of World Population 2016).
Demikian perkembangan terkini terkait isu seputar bonus demografi. ***
ARTIKEL TERKAIT :
Memahami Teori Pertumbuhan Populasi Thomas Robert Malthus
Pertumbuhan Populasi Penduduk Dunia beserta Permasalahannya
Belajar dari Penurunan Populasi di Jepang
Peran Sektor Kesehatan dalam Pembangunan
artikelnya bagus-bagus. pencantuman data dan sumber sudah ada. keep going
BalasHapus