Masalah perekonomian di dunia modern sangat menarik untuk dijadikan bahan kajian studi. Setelah sebelumnya mengulas tentang fenomena hiperinflasi di Zimbabwe, pada artikel ini kita akan belajar mengenai krisis ekonomi di Yunani, yang juga menyita perhatian dunia internasional.
Pertama-tama kita akan melihat data-data mengenai negara Yunani. Secara geografis, Yunani terletak di bagian selatan benua Eropa. Adapun luas area negara tersebut berkisar di angka 131.95 km2, dengan total populasi penduduk kurang lebih 11.12 juta jiwa pada 2015 (www.data.un.org).
Sedangkan menurut data OECD, total Gross Domestic Product (GDP) Yunani pada 2015 adalah sebesar US$ 297.17 miliar. Disisi lain, utang pemerintah (government debt) tercatat sebanyak 179.9% dari total GDP (www.data.oecd.org).
Dari sisi perekonomian, secara historis negara Yunani bertumpu pada sektor pertanian. Namun dalam perkembangannya, sektor industri besar seperti tekstil, logam, dan pertambangan turut memberikan kontribusi yang signifikan bagi pendapatan nasional. Ditambah lagi, negeri para dewa ini juga sangat terkenal dengan keindahan alamnya, sehingga membuat pariwisata menjadi salah satu sektor andalan untuk mengisi pundi-pundi negara.
Pada 1981 Yunani bergabung bersama dengan beberapa negara Eropa lain dalam kelompok Uni Eropa (European Union), dan secara resmi menggunakan mata uang tunggal, euro, pada awal 2001. Setelah masuk dalam Eurozone, Yunani memperoleh manfaat besar dengan membanjirnya investasi asing yang masuk ke negeri itu. Namun menurut sebuah studi, justru dari sinilah awal mula krisis melanda Yunani.
Seolah memanfaatkan keuntungan dari penggunaan mata uang euro, pemerintah Yunani kemudian menggelontorkan anggaran tak kurang dari 50% dari total GDP untuk membayar gaji dan tunjangan pegawai negeri sipil.
Selain itu pemerintah Yunani menggunakan dana pinjaman luar negeri untuk melakukan transaksi impor, tanpa diimbangi dengan peningkatan ekspor. Intinya, pinjaman asing tidak digunakan untuk kegiatan ekonomi produktif, melainkan menjadi pengeluaran konsumsi (Nelson, Belkin, and Mix. Greece’s Debt Crisis: Overview, Policy Responses, and Implications, Congressional Research Service, August 18, 2011).
Dan semua mulai terlihat ketika satu dasawarsa kemudian, laporan ekonomi menyebutkan bahwa total pengeluaran pemerintah Yunani (government spending) telah melampaui total pendapatan negara. Data ekonomi 2009 menunjukkan adanya defisit anggaran negara sebesar 12.7 % dan utang pemerintah mencapai 120% dari total GDP.
Kondisi tersebut memaksa pemerintah Yunani meminta bantuan internasional untuk memulihkan kondisi perekonomian dalam negeri. Singkat kata, setelah melalui perundingan-perundingan antara pihak pemerintah Yunani dengan the European Commission (Komisi Eropa, badan eksekutif dalam Uni Eropa), the European Central Bank (ECB), dan the International Monetary Fund (IMF) (tiga pihak terakhir ini dikemudian hari dikenal dengan sebutan Troika), Yunani memperoleh bantuan pinjaman dengan persyaratan tertentu, dimulai pada Mei 2010.
Bantuan pinjaman atau bailout kepada Yunani diberikan sebesar € 110 milliar, dengan rincian € 80 milliar berasal dari Komisi Eropa, sedangkan sisanya berasal dari IMF. Namun demikian, untuk dapat mencairkan bantuan tersebut, pemerintah Yunani terlebih dahulu harus memenuhi persyaratan berupa pengetatan anggaran (austerity).
Sekilas mengenai austerity, secara umum austerity bisa diartikan sebagai kebijakan pemerintah yang ditujukan untuk mengurangi defisit anggaran negara dengan cara memangkas pengeluaran dan/atau mendongkrak penerimaan negara. Adapun dalam kasus Yunani, terdapat beberapa hal yang menjadi syarat bagi cairnya bantuan pinjaman kepada negara tersebut. Secara ringkas digambarkan sebagai berikut:
Kemudian pada 2012, Yunani kembali memperoleh bailout sebesar € 172.6 miliar, terdiri dari sisa pinjaman dari bailout terdahulu yang belum dipakai sejumlah € 34.3 miliar, pinjaman baru sebesar € 130.1 miliar, dan tambahan pinjaman dari IMF sebanyak € 8.2 miliar.
Sedangkan bantuan pinjaman yang ketiga dikucurkan pada 2015, dengan jumlah mencapai € 86 milliar, yang akan difokuskan untuk program restrukturisasi, rekapitalisasi perbankan, dan pembiayaan sektor finansial (Rocholl, J, and A. Stahmer. Where Did The Greek Bailout Money Go?, ESMT White Paper No. WP-16-02, 2016).
Akan tetapi, tidak sedikit dari total pinjaman yang diterima pemerintah Yunani dipakai untuk membayar utang pemerintah yang sudah atau menjelang jatuh tempo beserta dengan bunga pinjaman, dan menyisakan sebagian saja untuk digunakan dalam sektor produktif. Dengan demikian, walaupun Yunani selamat dari kebangkrutan, tetap saja perekonomian domestik tidak bisa berjalan dengan normal karena tanggungan utang yang menumpuk.
Lebih jauh, dalam upaya penyelamatan ekonomi Yunani, terdapat berbagai kritik mengenai efektivitas bailout yang diberikan oleh Troika serta austerity yang menjadi persyaratannya.
Pendapat Joseph E. Stiglitz.
Dalam pandangannya, Stiglitz mengungkapkan kekhawatiran bahwa cara penanganan yang dilakukan oleh Troika tidak jauh berbeda dengan metode penanganan IMF atas krisis ekonomi Asia pada 1997-1998 yang dianggap gagal. Selain itu Stiglitz menyatakan bahwa austerity yang dipaksakan kepada Yunani tidak relevan dan sarat kepentingan tertentu yang tidak berkaitan dengan pemulihan krisis di Yunani (www.nytimes.com. Greece, the Sacrificial Lamb, by Joseph E. Stiglitz, July 25, 2015).
Kritikan Paul Krugman.
Krugman menegaskan bahwa kebijakan austerity yang diyakini oleh Troika mampu mencegah pelarian modal (capital flight) dan memicu kepercayaan konsumen, tidak terbukti. Bahkan kebijakan tersebut ditengarai semakin meruntuhkan tingkat konsumsi masyarakat (private spending) (www.nytimes.com. Pain Without Gain, by Paul Krugman, February 20, 2012).
Pandangan Joseph Firtoussi.
Firtoussi berpendapat bahwa cara penanganan terhadap Yunani hanya mengikuti apa yang telah dilakukan IMF di Asia pada krisis ekonomi 1997-1998. Padahal menurutnya, metode tersebut tidak bisa dikatakan berhasil membantu negara-negara Asia keluar dari krisis. Uni Eropa justru mengulangi kesalahan serupa pada kasus Yunani, dengan terburu-buru menetapkan austerity (www.nytimes.com. Europe’s Austerity Mirage, by Jean-Paul Fitoussi, February 28, 2012).
Kesimpulannya, kesalahan penerapan kebijakan ekonomi bisa membawa negara terperosok kedalam krisis yang berkepanjangan, seperti yang dialami oleh Yunani; sementara ketidaktepatan dalam penanganan krisis bisa memperburuk kondisi yang sudah ada. **
UPDATE ARTIKEL (Selasa, 22 Agustus 2017):
Perkembangan terkini tentang krisis ekonomi di Yunani bisa dilihat dari berbagai aspek. Kita akan membahas bagaimana progress penerapan kebijakan yang diambil pemerintah Yunani dalam menyelesaikan krisis ekonomi yang telah berlangsung selama beberapa tahun.
Salah satu studi menyebut bahwa hingga akhir 2016, pemerintah Yunani terus melakukan upaya untuk memperbaiki kondisi ekonomi domestik, meskipun hasilnya relatif tidak signifikan dalam mengatasi krisis yang terjadi. Dalam bahasa sederhana bisa dikatakan bahwa perekonomian dalam negeri Yunani masih mengalami stagnasi.
Dilihat dari data ekonomi, capaian GDP (PPP based) Yunani pada 2016 diperkirakan sebesar US$ 290.5 miliar, dengan GDP per kapita mencapai US$ 26,800.
Adapun persoalan dibidang ekonomi diantaranya adalah tingginya angka kejahatan perpajakan (tax evasion) yang diprediksi mencapai 20-25% dari total GDP Yunani, serta tingginya non-performing loan (NPL) atau kredit macet di sektor perbankan, yang berkontribusi pada suram'nya perekonomian Yunani di 2016 dan berlanjut hingga tahun ini.
Diluar problem ekonomi, situasi politik dalam negeri yang belum stabil juga berdampak negatif pada kecepatan Yunani untuk keluar dari krisis ekonomi (www.indexmundi.com).
Sementara laporan lain menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi Yunani pada 2017 diproyeksikan mencapai 2.1%, dan meningkat menjadi 2.5% pada 2018. Namun demikian hal tersebut akan bergantung pada keberhasilan program perbaikan ekonomi, besarnya konsumsi rumahtangga, serta tingginya investasi (European Parliament. In-Depth Analysis: Greece’s financial assistance programme, June 2017).
Argitis, Koratzanis, dan Pierros, dalam studinya memandang bahwa masa depan Yunani masih diliputi oleh ketidakpastian. Pinjaman dari pihak ketiga (bailout) diyakini tidak akan mampu memperbaiki kredibilitas serta solvabilitas pasar keuangan dan sektor riil.
Hal ini tercermin dari rasio antara utang pemerintah Yunani dengan total GDP pada 2016 yang mencapai 177%; meskipun turun dari tahun sebelumnya, sebesar 179.7%. Dengan kata lain ada keraguan atas efektivitas kebijakan makro ekonomi yang diambil pemerintah Yunani selama krisis berlangsung.
Disamping itu, meski sudah memperoleh pinjaman, fakta'nya angka pengangguran tetap tinggi, yakni lebih dari 30% dari total angkatan kerja, dimana kelompok usia 15-24 tahun menyumbang lebih dari 45% dari angka tersebut. Sementara upah minimum nasional merosot hingga 20% selama periode 2010-2016 (Argitis, G, Nasos Koratzanis, and Christos Pierros. The Elusive Recovery: Special studies on Greece and Germany, Independent Annual Growth Survey, 5th Report, March 2017).
Sedangkan IMF memproyeksikan pertumbuhan ekonomi Yunani sebesar 2.1% di 2017. Namun IMF juga mencatat angka kemiskinan di Yunani yang menembus angka diatas 35% dari total populasi.
Lebih lanjut IMF menegaskan bahwa penerapan kebijakan fiskal dengan menaikkan tarif pajak tidak akan membawa perbaikan ekonomi. Pemerintah Yunani semestinya menitikberatkan pada penanganan terhadap pelanggaran di sektor perpajakan (tax evasion) dan pembayaran utang pemerintah, memperbesar basis pajak dan ketaatan pembayaran pajak, serta tidak menerapkan kebijakan pengampunan pajak (tax amnesty) karena justru akan merugikan keuangan negara.
Sementara perbaikan di sektor perbankan harus dilakukan melalui restrukturisasi utang serta perbaikan kerangka pengawasan terhadap kredit macet perbankan. Pemerintah Yunani juga disarankan untuk melakukan peningkatan terhadap produktivitas dan daya saing produk negara tersebut melalui penguatan di sektor ketenagakerjaan (www.imf.org. Greece and the IMF, updated July 20, 2017).
Sampai disini kita akan terus mencermati bagaimana upaya pemerintah Yunani, melalui berbagai kebijakan ekonomi, untuk keluar dari krisis yang menerpa negara tersebut. ***
ARTIKEL TERKAIT :
Perekonomian Arab Saudi, Ancaman Krisis Dibalik Melimpahnya Cadangan Minyak Bumi
Memotret Perekonomian Madagaskar: Kemiskinan, Malnutrisi, dan Instabilitas Politik Dalam Negeri
Kondisi Perekonomian Venezuela: Krisis Ekonomi dan Ketergantungan pada Minyak Bumi
Ketika Sistem Perekonomian Tertutup Menjadi Pilihan: tinjauan ekonomi Korea Utara
Pertama-tama kita akan melihat data-data mengenai negara Yunani. Secara geografis, Yunani terletak di bagian selatan benua Eropa. Adapun luas area negara tersebut berkisar di angka 131.95 km2, dengan total populasi penduduk kurang lebih 11.12 juta jiwa pada 2015 (www.data.un.org).
Sedangkan menurut data OECD, total Gross Domestic Product (GDP) Yunani pada 2015 adalah sebesar US$ 297.17 miliar. Disisi lain, utang pemerintah (government debt) tercatat sebanyak 179.9% dari total GDP (www.data.oecd.org).
Dari sisi perekonomian, secara historis negara Yunani bertumpu pada sektor pertanian. Namun dalam perkembangannya, sektor industri besar seperti tekstil, logam, dan pertambangan turut memberikan kontribusi yang signifikan bagi pendapatan nasional. Ditambah lagi, negeri para dewa ini juga sangat terkenal dengan keindahan alamnya, sehingga membuat pariwisata menjadi salah satu sektor andalan untuk mengisi pundi-pundi negara.
Pada 1981 Yunani bergabung bersama dengan beberapa negara Eropa lain dalam kelompok Uni Eropa (European Union), dan secara resmi menggunakan mata uang tunggal, euro, pada awal 2001. Setelah masuk dalam Eurozone, Yunani memperoleh manfaat besar dengan membanjirnya investasi asing yang masuk ke negeri itu. Namun menurut sebuah studi, justru dari sinilah awal mula krisis melanda Yunani.
Seolah memanfaatkan keuntungan dari penggunaan mata uang euro, pemerintah Yunani kemudian menggelontorkan anggaran tak kurang dari 50% dari total GDP untuk membayar gaji dan tunjangan pegawai negeri sipil.
Selain itu pemerintah Yunani menggunakan dana pinjaman luar negeri untuk melakukan transaksi impor, tanpa diimbangi dengan peningkatan ekspor. Intinya, pinjaman asing tidak digunakan untuk kegiatan ekonomi produktif, melainkan menjadi pengeluaran konsumsi (Nelson, Belkin, and Mix. Greece’s Debt Crisis: Overview, Policy Responses, and Implications, Congressional Research Service, August 18, 2011).
Dan semua mulai terlihat ketika satu dasawarsa kemudian, laporan ekonomi menyebutkan bahwa total pengeluaran pemerintah Yunani (government spending) telah melampaui total pendapatan negara. Data ekonomi 2009 menunjukkan adanya defisit anggaran negara sebesar 12.7 % dan utang pemerintah mencapai 120% dari total GDP.
Kondisi tersebut memaksa pemerintah Yunani meminta bantuan internasional untuk memulihkan kondisi perekonomian dalam negeri. Singkat kata, setelah melalui perundingan-perundingan antara pihak pemerintah Yunani dengan the European Commission (Komisi Eropa, badan eksekutif dalam Uni Eropa), the European Central Bank (ECB), dan the International Monetary Fund (IMF) (tiga pihak terakhir ini dikemudian hari dikenal dengan sebutan Troika), Yunani memperoleh bantuan pinjaman dengan persyaratan tertentu, dimulai pada Mei 2010.
Bantuan pinjaman atau bailout kepada Yunani diberikan sebesar € 110 milliar, dengan rincian € 80 milliar berasal dari Komisi Eropa, sedangkan sisanya berasal dari IMF. Namun demikian, untuk dapat mencairkan bantuan tersebut, pemerintah Yunani terlebih dahulu harus memenuhi persyaratan berupa pengetatan anggaran (austerity).
Sekilas mengenai austerity, secara umum austerity bisa diartikan sebagai kebijakan pemerintah yang ditujukan untuk mengurangi defisit anggaran negara dengan cara memangkas pengeluaran dan/atau mendongkrak penerimaan negara. Adapun dalam kasus Yunani, terdapat beberapa hal yang menjadi syarat bagi cairnya bantuan pinjaman kepada negara tersebut. Secara ringkas digambarkan sebagai berikut:
- Kebijakan pajak, yaitu dengan menaikkan pajak penghasilan, pajak pertambahan nilai, pajak properti, serta cukai tembakau dan alkohol.
- Kebijakan sektor publik, dengan memangkas upah/gaji pegawai negeri sipil dan pegawai badan usaha milik negara (state-owned enterprises), mengurangi jumlah pegawai pada institusi pemerintah, serta menetapkan peraturan yang fleksibel untuk mempermudah pemutusan kontrak kerja pada pegawai tidak tetap.
- Kebijakan privatisasi, yakni dengan melakukan privatisasi badan usaha milik negara untuk memperoleh keuntungan setidaknya € 50 milliar hingga 2015.
- Reformasi pasar tenaga kerja, berupa pemotongan upah minimum buruh.
Kemudian pada 2012, Yunani kembali memperoleh bailout sebesar € 172.6 miliar, terdiri dari sisa pinjaman dari bailout terdahulu yang belum dipakai sejumlah € 34.3 miliar, pinjaman baru sebesar € 130.1 miliar, dan tambahan pinjaman dari IMF sebanyak € 8.2 miliar.
Sedangkan bantuan pinjaman yang ketiga dikucurkan pada 2015, dengan jumlah mencapai € 86 milliar, yang akan difokuskan untuk program restrukturisasi, rekapitalisasi perbankan, dan pembiayaan sektor finansial (Rocholl, J, and A. Stahmer. Where Did The Greek Bailout Money Go?, ESMT White Paper No. WP-16-02, 2016).
Akan tetapi, tidak sedikit dari total pinjaman yang diterima pemerintah Yunani dipakai untuk membayar utang pemerintah yang sudah atau menjelang jatuh tempo beserta dengan bunga pinjaman, dan menyisakan sebagian saja untuk digunakan dalam sektor produktif. Dengan demikian, walaupun Yunani selamat dari kebangkrutan, tetap saja perekonomian domestik tidak bisa berjalan dengan normal karena tanggungan utang yang menumpuk.
Lebih jauh, dalam upaya penyelamatan ekonomi Yunani, terdapat berbagai kritik mengenai efektivitas bailout yang diberikan oleh Troika serta austerity yang menjadi persyaratannya.
Pendapat Joseph E. Stiglitz.
Dalam pandangannya, Stiglitz mengungkapkan kekhawatiran bahwa cara penanganan yang dilakukan oleh Troika tidak jauh berbeda dengan metode penanganan IMF atas krisis ekonomi Asia pada 1997-1998 yang dianggap gagal. Selain itu Stiglitz menyatakan bahwa austerity yang dipaksakan kepada Yunani tidak relevan dan sarat kepentingan tertentu yang tidak berkaitan dengan pemulihan krisis di Yunani (www.nytimes.com. Greece, the Sacrificial Lamb, by Joseph E. Stiglitz, July 25, 2015).
Kritikan Paul Krugman.
Krugman menegaskan bahwa kebijakan austerity yang diyakini oleh Troika mampu mencegah pelarian modal (capital flight) dan memicu kepercayaan konsumen, tidak terbukti. Bahkan kebijakan tersebut ditengarai semakin meruntuhkan tingkat konsumsi masyarakat (private spending) (www.nytimes.com. Pain Without Gain, by Paul Krugman, February 20, 2012).
Pandangan Joseph Firtoussi.
Firtoussi berpendapat bahwa cara penanganan terhadap Yunani hanya mengikuti apa yang telah dilakukan IMF di Asia pada krisis ekonomi 1997-1998. Padahal menurutnya, metode tersebut tidak bisa dikatakan berhasil membantu negara-negara Asia keluar dari krisis. Uni Eropa justru mengulangi kesalahan serupa pada kasus Yunani, dengan terburu-buru menetapkan austerity (www.nytimes.com. Europe’s Austerity Mirage, by Jean-Paul Fitoussi, February 28, 2012).
Kesimpulannya, kesalahan penerapan kebijakan ekonomi bisa membawa negara terperosok kedalam krisis yang berkepanjangan, seperti yang dialami oleh Yunani; sementara ketidaktepatan dalam penanganan krisis bisa memperburuk kondisi yang sudah ada. **
UPDATE ARTIKEL (Selasa, 22 Agustus 2017):
Perkembangan terkini tentang krisis ekonomi di Yunani bisa dilihat dari berbagai aspek. Kita akan membahas bagaimana progress penerapan kebijakan yang diambil pemerintah Yunani dalam menyelesaikan krisis ekonomi yang telah berlangsung selama beberapa tahun.
Salah satu studi menyebut bahwa hingga akhir 2016, pemerintah Yunani terus melakukan upaya untuk memperbaiki kondisi ekonomi domestik, meskipun hasilnya relatif tidak signifikan dalam mengatasi krisis yang terjadi. Dalam bahasa sederhana bisa dikatakan bahwa perekonomian dalam negeri Yunani masih mengalami stagnasi.
Dilihat dari data ekonomi, capaian GDP (PPP based) Yunani pada 2016 diperkirakan sebesar US$ 290.5 miliar, dengan GDP per kapita mencapai US$ 26,800.
Adapun persoalan dibidang ekonomi diantaranya adalah tingginya angka kejahatan perpajakan (tax evasion) yang diprediksi mencapai 20-25% dari total GDP Yunani, serta tingginya non-performing loan (NPL) atau kredit macet di sektor perbankan, yang berkontribusi pada suram'nya perekonomian Yunani di 2016 dan berlanjut hingga tahun ini.
Diluar problem ekonomi, situasi politik dalam negeri yang belum stabil juga berdampak negatif pada kecepatan Yunani untuk keluar dari krisis ekonomi (www.indexmundi.com).
Sementara laporan lain menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi Yunani pada 2017 diproyeksikan mencapai 2.1%, dan meningkat menjadi 2.5% pada 2018. Namun demikian hal tersebut akan bergantung pada keberhasilan program perbaikan ekonomi, besarnya konsumsi rumahtangga, serta tingginya investasi (European Parliament. In-Depth Analysis: Greece’s financial assistance programme, June 2017).
Argitis, Koratzanis, dan Pierros, dalam studinya memandang bahwa masa depan Yunani masih diliputi oleh ketidakpastian. Pinjaman dari pihak ketiga (bailout) diyakini tidak akan mampu memperbaiki kredibilitas serta solvabilitas pasar keuangan dan sektor riil.
Hal ini tercermin dari rasio antara utang pemerintah Yunani dengan total GDP pada 2016 yang mencapai 177%; meskipun turun dari tahun sebelumnya, sebesar 179.7%. Dengan kata lain ada keraguan atas efektivitas kebijakan makro ekonomi yang diambil pemerintah Yunani selama krisis berlangsung.
Disamping itu, meski sudah memperoleh pinjaman, fakta'nya angka pengangguran tetap tinggi, yakni lebih dari 30% dari total angkatan kerja, dimana kelompok usia 15-24 tahun menyumbang lebih dari 45% dari angka tersebut. Sementara upah minimum nasional merosot hingga 20% selama periode 2010-2016 (Argitis, G, Nasos Koratzanis, and Christos Pierros. The Elusive Recovery: Special studies on Greece and Germany, Independent Annual Growth Survey, 5th Report, March 2017).
Sedangkan IMF memproyeksikan pertumbuhan ekonomi Yunani sebesar 2.1% di 2017. Namun IMF juga mencatat angka kemiskinan di Yunani yang menembus angka diatas 35% dari total populasi.
Lebih lanjut IMF menegaskan bahwa penerapan kebijakan fiskal dengan menaikkan tarif pajak tidak akan membawa perbaikan ekonomi. Pemerintah Yunani semestinya menitikberatkan pada penanganan terhadap pelanggaran di sektor perpajakan (tax evasion) dan pembayaran utang pemerintah, memperbesar basis pajak dan ketaatan pembayaran pajak, serta tidak menerapkan kebijakan pengampunan pajak (tax amnesty) karena justru akan merugikan keuangan negara.
Sementara perbaikan di sektor perbankan harus dilakukan melalui restrukturisasi utang serta perbaikan kerangka pengawasan terhadap kredit macet perbankan. Pemerintah Yunani juga disarankan untuk melakukan peningkatan terhadap produktivitas dan daya saing produk negara tersebut melalui penguatan di sektor ketenagakerjaan (www.imf.org. Greece and the IMF, updated July 20, 2017).
Sampai disini kita akan terus mencermati bagaimana upaya pemerintah Yunani, melalui berbagai kebijakan ekonomi, untuk keluar dari krisis yang menerpa negara tersebut. ***
ARTIKEL TERKAIT :
Perekonomian Arab Saudi, Ancaman Krisis Dibalik Melimpahnya Cadangan Minyak Bumi
Memotret Perekonomian Madagaskar: Kemiskinan, Malnutrisi, dan Instabilitas Politik Dalam Negeri
Kondisi Perekonomian Venezuela: Krisis Ekonomi dan Ketergantungan pada Minyak Bumi
Ketika Sistem Perekonomian Tertutup Menjadi Pilihan: tinjauan ekonomi Korea Utara
Thanks tulisannya bagus banget. Kenapa mereka gak stop impor, gunakan produk lokal. Live simple. Tanam sendiri apa yang dimakan.
BalasHapusTIDAK SEMUDAH ITU FERGSO, KARENA SEMUA MEMILIKI KESINAMBUNGAN
Hapus