Kerjasama multi negara telah lama digaungkan dan berlangsung hingga kini. Kesadaran akan saling ketergantungan dalam perdagangan, investasi, ekonomi, dan keamanan, membuat negara-negara membangun aliansi untuk kepentingan bersama. ASEAN dan the Trans-Pacific Partnership (TPP) merupakan beberapa contoh bentuk kerjasama antar negara dengan tujuan tertentu. Kali ini kita akan membahas salah satu bentuk kerjasama antar negara yang dikenal dengan istilah the Group of Seven (G7).
Dilihat dari sejarahnya, proses kerjasama kelompok G7 melalui fase yang panjang.
Adapun alasan yang menjadi dasar terbentuknya G7 antara lain tersebut dibawah ini.
Pertama, adanya embargo minyak mentah oleh the Organization of the Petroleum Exporting Countries (OPEC) pada negara-negara barat karena dianggap mendukung Israel dalam perang Yom Kippur, 1973.
Akibat embargo ini, harga minyak mentah dunia melonjak dengan cepat. Sebagai informasi, perang Yom Kippur (Yom Kippur war) terjadi pada Oktober 1973, merupakan perang antara Israel melawan negara-negara Arab, termasuk Irak, Suriah, dan Mesir, yang tergabung dalam Liga Arab (the Arab League). Perang ini memperebutkan dataran tinggi Golan yang dikuasai tentara Israel (www.history.com. Yom Kippur War).
Alasan kedua adalah gagalnya sistem moneter ala Bretton Woods saat menggunakan model fixed exchange rate. Sistem ini sebenarnya sudah dilakukan sejak berakhirnya perang dunia kedua. Dalam pendekatan fixed exchange rate, nilai tukar mata uang dollar dipatok dengan nilai emas batangan.
Pada awal dekade 1970’an, Amerika Serikat yang kala itu dipimpin Presiden Richard Nixon, memutuskan untuk menghentikan sistem fixed exchange rate karena Amerika Serikat mengalami surplus dollar, sementara pada saat yang sama tidak memiliki persediaan emas batangan yang memadai untuk mengimbangi sirkulasi mata uang dollar di pasar internasional, sehingga US dollar mengalami overvalue (www.history.state.gov. Nixon and the End of the Bretton Woods System, 1971-1973).
Disamping alasan-alasan diatas, mengingat semakin meningkatnya kebutuhan dalam rangka koordinasi kebijakan ekonomi dan keuangan global, maka empat negara, yakni Perancis, Inggris, Jerman, dan Amerika Serikat mengadakan pertemuan pada 25 Maret 1973 untuk mendiskusikan persoalan-persoalan itu. Pada Oktober tahun yang sama, Jepang bergabung dalam forum diskusi tersebut, sehingga dikemudian hari kelompok lima negara ini disebut dengan istilah the Group of Five (G5).
Beberapa tahun kemudian, group ini menambah jumlah anggota menjadi tujuh dengan masuknya Italia (1975) dan Kanada (1976) sebagai anggota baru. Dari sinilah kemudian dikenal istilah the Group of Seven (G7). Lebih lanjut, pada 1997 Rusia juga bergabung dalam kelompok G7, sehingga mengubah nama G7 menjadi G8 (the Group of Eight).
Pada prinsipnya, kelompok G7/G8 dihuni oleh negara-negara dengan kategori high-income country atau negara berpendapatan tinggi, mempunyai kekuatan utama dibidang ekonomi, memiliki unsur demokratisasi dalam pemerintahan, serta beraliansi langsung dengan Amerika Serikat.
Dalam hal ini, Rusia merupakan satu-satunya pengecualian, mengingat hubungan yang tidak selalu harmonis dengan Amerika Serikat. Pada perkembangannya kemudian, sehubungan dengan aneksasi/penguasaan wilayah dan infiltrasi militer oleh Rusia atas Crimea pada Maret 2014, keanggotaan Rusia dihentikan untuk sementara (suspended).
Disamping itu, forum G7/G8 bukan merupakan institusi resmi, sebab tidak memiliki struktur organisasi maupun kantor sekretariat bersama. Oleh karenanya, pertemuan-pertemuan yang dilakukan pun bersifat tidak resmi (informal meeting).
Pertemuan negara-negara yang tergabung dalam kelompok G7/G8 berkembang dari waktu ke waktu. Apabila pada awalnya lebih banyak berdiskusi mengenai masalah ekonomi, maka dalam perkembangannya kemudian juga membahas isu-isu lain, seperti masalah keamanan kawasan, pembangunan global, serta persoalan lingkungan.
Selanjutnya, krisis ekonomi dan finansial yang melanda banyak negara di kawasan Amerika Latin, Asia-Pasifik, dan Eropa pada dekade 1990’an menjadi dorongan bagi terbentuknya kerjasama yang lebih luas daripada G8. Oleh karena itu, pada akhir 1999 dicetuskanlah forum kerjasama dengan melibatkan lebih banyak negara, yang kemudian dinamakan the Group of Twenty (G20).
Adapun negara-negara yang bergabung menjadi anggota G20 adalah Argentina, Australia, Brazil, China, India, Indonesia, Meksiko, Arab Saudi, Afrika Selatan, Korea Selatan, dan Turki. Sementara satu perwakilan lagi berasal dari Uni Eropa (the European Union) (Smith, G. G7 To G8 To G20: Evolution in Global Governance, CIGI G20 Paper I No. 6, May, 2011).
Sebagai catatan tambahan, pada 26-27 Mei 2016, Jepang menjadi tuan rumah pertemuan puncak kelompok G7 (the G7 Summit). Menurut situs resmi pemerintah setempat, agenda-agenda yang dibicarakan dalam the G7 Ise-Shima Summit antara lain adalah:
Akhir kata, menarik untuk ditunggu seperti apa wujud nyata yang dihasilkan dari kerjasama antar negara ini. **
UPDATE ARTIKEL (Jumat, 14 September 2018):
Sampai dengan 2017, kelompok negara-negara G7 merepresentasikan tak kurang dari 10% total populasi penduduk dunia, menghasilkan GDP sekitar 45% total GDP global, serta menggelontorkan lebih dari 75% total bantuan dalam skema official development assistance (ODA).
Sementara sepanjang 2017-2018, G7 telah mengadakan beberapa kali pertemuan, baik berupa pembahasan di tingkat kementerian maupun konferensi tingkat tinggi.
Pada tahun lalu, pertemuan puncak G7 (G7 Summit) diselenggarakan di Taormina, Italia, 26-27 Mei 2017. Adapun isu-isu yang menjadi pembicaraan diantaranya tentang kebijakan luar negeri, kondisi perekonomian global, perdagangan, kesetaraan gender, mobilitas manusia, ketersediaan pangan dan nutrisi, perubahan iklim dan sumberdaya energi, kesehatan, ketenagakerjaan, serta permasalahan yang terjadi di kawasan Afrika.
Dalam pertemuan tersebut dihasilkan beberapa kesepakatan yang terangkum menjadi beberapa poin dibawah ini:
1. Isu kebijakan luar negeri.
2. Isu perekonomian global.
3. Isu ketimpangan (inequalities).
4. Kesetaraan gender.
5. Perdagangan.
6. Persoalan mobilitas manusia.
7. Masalah Afrika.
8. Ketersediaan pangan dan nutrisi.
9. Iklim dan energi.
10. Inovasi, keterampilan, dan tenaga kerja.
11. Kesehatan.
Sementara itu, pertemuan puncak G7 ke-44 pada 2018 di Charlevoix, Kanada, 8-9 Juni 2018, dibayangi oleh konflik yang terjadi antara Amerika Serikat dengan negara-negara anggota G7.
Adapun konflik tersebut terutama sebagai akibat kebijakan Amerika Serikat terkait tarif impor produk dari negara-negara anggota G7 (aluminium sebesar 10% dan besi sebesar 25%), sebagai konsekuensi dari kebijakan proteksionisme.
Dalam pertemuan tersebut, terdapat beberapa poin penting yang menjadi kesepakatan bersama, yakni:
1. Investasi pada pertumbuhan yang berlaku untuk semua pihak.
2. Mempersiapkan lapangan kerja untuk masa depan.
3. Meningkatkan kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan.
4. Membangun dunia yang lebih aman dan damai.
5. Bekerjasama menanggulangi masalah perubahan iklim, kelautan, serta ketersediaan sumberdaya energi yang bersih.
Demikian perkembangan terkini terkait peran negara-negara anggota G7 untuk mewujudkan keamanan dan kesejahteraan dunia. Kita akan terus mencermati aksi nyata dari kesepakatan-kesepakatan tersebut. ***
ARTIKEL TERKAIT :
Sejarah Perkembangan Forum Kerjasama G20 (the Group of Twenty)
Melihat Sejarah Gerakan Non Blok (Non-Aligned Movement) dan Relevansinya di Dunia Modern
Sekilas tentang the Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD)
Sejarah Terbentuknya Blok Uni Eropa (the European Union)
Dilihat dari sejarahnya, proses kerjasama kelompok G7 melalui fase yang panjang.
Adapun alasan yang menjadi dasar terbentuknya G7 antara lain tersebut dibawah ini.
Pertama, adanya embargo minyak mentah oleh the Organization of the Petroleum Exporting Countries (OPEC) pada negara-negara barat karena dianggap mendukung Israel dalam perang Yom Kippur, 1973.
Akibat embargo ini, harga minyak mentah dunia melonjak dengan cepat. Sebagai informasi, perang Yom Kippur (Yom Kippur war) terjadi pada Oktober 1973, merupakan perang antara Israel melawan negara-negara Arab, termasuk Irak, Suriah, dan Mesir, yang tergabung dalam Liga Arab (the Arab League). Perang ini memperebutkan dataran tinggi Golan yang dikuasai tentara Israel (www.history.com. Yom Kippur War).
Alasan kedua adalah gagalnya sistem moneter ala Bretton Woods saat menggunakan model fixed exchange rate. Sistem ini sebenarnya sudah dilakukan sejak berakhirnya perang dunia kedua. Dalam pendekatan fixed exchange rate, nilai tukar mata uang dollar dipatok dengan nilai emas batangan.
Pada awal dekade 1970’an, Amerika Serikat yang kala itu dipimpin Presiden Richard Nixon, memutuskan untuk menghentikan sistem fixed exchange rate karena Amerika Serikat mengalami surplus dollar, sementara pada saat yang sama tidak memiliki persediaan emas batangan yang memadai untuk mengimbangi sirkulasi mata uang dollar di pasar internasional, sehingga US dollar mengalami overvalue (www.history.state.gov. Nixon and the End of the Bretton Woods System, 1971-1973).
Disamping alasan-alasan diatas, mengingat semakin meningkatnya kebutuhan dalam rangka koordinasi kebijakan ekonomi dan keuangan global, maka empat negara, yakni Perancis, Inggris, Jerman, dan Amerika Serikat mengadakan pertemuan pada 25 Maret 1973 untuk mendiskusikan persoalan-persoalan itu. Pada Oktober tahun yang sama, Jepang bergabung dalam forum diskusi tersebut, sehingga dikemudian hari kelompok lima negara ini disebut dengan istilah the Group of Five (G5).
Beberapa tahun kemudian, group ini menambah jumlah anggota menjadi tujuh dengan masuknya Italia (1975) dan Kanada (1976) sebagai anggota baru. Dari sinilah kemudian dikenal istilah the Group of Seven (G7). Lebih lanjut, pada 1997 Rusia juga bergabung dalam kelompok G7, sehingga mengubah nama G7 menjadi G8 (the Group of Eight).
Pada prinsipnya, kelompok G7/G8 dihuni oleh negara-negara dengan kategori high-income country atau negara berpendapatan tinggi, mempunyai kekuatan utama dibidang ekonomi, memiliki unsur demokratisasi dalam pemerintahan, serta beraliansi langsung dengan Amerika Serikat.
Dalam hal ini, Rusia merupakan satu-satunya pengecualian, mengingat hubungan yang tidak selalu harmonis dengan Amerika Serikat. Pada perkembangannya kemudian, sehubungan dengan aneksasi/penguasaan wilayah dan infiltrasi militer oleh Rusia atas Crimea pada Maret 2014, keanggotaan Rusia dihentikan untuk sementara (suspended).
Disamping itu, forum G7/G8 bukan merupakan institusi resmi, sebab tidak memiliki struktur organisasi maupun kantor sekretariat bersama. Oleh karenanya, pertemuan-pertemuan yang dilakukan pun bersifat tidak resmi (informal meeting).
Pertemuan negara-negara yang tergabung dalam kelompok G7/G8 berkembang dari waktu ke waktu. Apabila pada awalnya lebih banyak berdiskusi mengenai masalah ekonomi, maka dalam perkembangannya kemudian juga membahas isu-isu lain, seperti masalah keamanan kawasan, pembangunan global, serta persoalan lingkungan.
Selanjutnya, krisis ekonomi dan finansial yang melanda banyak negara di kawasan Amerika Latin, Asia-Pasifik, dan Eropa pada dekade 1990’an menjadi dorongan bagi terbentuknya kerjasama yang lebih luas daripada G8. Oleh karena itu, pada akhir 1999 dicetuskanlah forum kerjasama dengan melibatkan lebih banyak negara, yang kemudian dinamakan the Group of Twenty (G20).
Adapun negara-negara yang bergabung menjadi anggota G20 adalah Argentina, Australia, Brazil, China, India, Indonesia, Meksiko, Arab Saudi, Afrika Selatan, Korea Selatan, dan Turki. Sementara satu perwakilan lagi berasal dari Uni Eropa (the European Union) (Smith, G. G7 To G8 To G20: Evolution in Global Governance, CIGI G20 Paper I No. 6, May, 2011).
Sebagai catatan tambahan, pada 26-27 Mei 2016, Jepang menjadi tuan rumah pertemuan puncak kelompok G7 (the G7 Summit). Menurut situs resmi pemerintah setempat, agenda-agenda yang dibicarakan dalam the G7 Ise-Shima Summit antara lain adalah:
- Perdagangan dan perekonomian global. Terutama dalam menghadapi gejolak ketidakpastian situasi ekonomi, termasuk perlambatan perekonomian di negara-negara berkembang dan merosotnya harga minyak mentah dunia.
- Kebijakan luar negeri. Terkait dengan nilai-nilai dasar demokrasi, kebebasan, serta penegakan hukum dan hak asasi manusia, termasuk upaya pemberantasan terorisme serta isu-isu kawasan seperti konflik di Timur Tengah, Ukraina, dan pengembangan senjata nuklir oleh Korea Utara.
- Perubahan iklim dan masalah energi. Berkaitan dengan masalah pemanasan global (global warming) serta penanggulangan dampak negatif perubahan iklim (climate change), termasuk strategi pemeliharan sumberdaya energi untuk kepentingan jangka panjang.
- Pembangunan. Terutama menyangkut pelaksanaan agenda besar the Sustainable Development Goals (SDGs), serta kerjasama dengan organisasi internasional seperti the World Bank dan the United Nations Development Programme (UNDP) untuk meningkatkan pembangunan wilayah Afrika.
- Investasi pada infrastruktur. Ditujukan untuk mengatasi gap antara kebutuhan dan tersedianya instrumen investasi pada infrastruktur dalam mendukung peningkatan pertumbuhan ekonomi global.
- Kesehatan. Khususnya menyangkut upaya pemberantasan penyakit menular dan infeksi, serta memperkuat sistem pemenuhan kesehatan, termasuk peningkatan level kesehatan pada ibu hamil, bayi, dan anak-anak.
- Perempuan. Isu kesetaraan gender (gender equality) juga mendapatkan porsi dalam pertemuan ini, termasuk diantaranya dalam bidang pendidikan, ilmu pengetahuan dan teknologi, serta peningkatan peran perempuan.
Akhir kata, menarik untuk ditunggu seperti apa wujud nyata yang dihasilkan dari kerjasama antar negara ini. **
UPDATE ARTIKEL (Jumat, 14 September 2018):
Sampai dengan 2017, kelompok negara-negara G7 merepresentasikan tak kurang dari 10% total populasi penduduk dunia, menghasilkan GDP sekitar 45% total GDP global, serta menggelontorkan lebih dari 75% total bantuan dalam skema official development assistance (ODA).
Sementara sepanjang 2017-2018, G7 telah mengadakan beberapa kali pertemuan, baik berupa pembahasan di tingkat kementerian maupun konferensi tingkat tinggi.
Pada tahun lalu, pertemuan puncak G7 (G7 Summit) diselenggarakan di Taormina, Italia, 26-27 Mei 2017. Adapun isu-isu yang menjadi pembicaraan diantaranya tentang kebijakan luar negeri, kondisi perekonomian global, perdagangan, kesetaraan gender, mobilitas manusia, ketersediaan pangan dan nutrisi, perubahan iklim dan sumberdaya energi, kesehatan, ketenagakerjaan, serta permasalahan yang terjadi di kawasan Afrika.
Dalam pertemuan tersebut dihasilkan beberapa kesepakatan yang terangkum menjadi beberapa poin dibawah ini:
1. Isu kebijakan luar negeri.
- memperkuat aturan internasional yang mempromosikan perdamaian bagi segala bangsa, terciptanya integritas teritorial, serta kemerdekaan berpolitik dan jaminan perlindungan terhadap hak asasi manusia.
- mengutuk keras pemakaian senjata kimia dalam konflik di Suriah, serta mendorong dialog perdamaian untuk konflik di Libya.
- berkomitmen dalam mendukung perlucutan senjata nuklir (nuclear proliferation), serta solusi untuk krisis di Ukraina.
2. Isu perekonomian global.
- mendorong perbaikan kondisi perekonomian global, serta berkomitmen untuk meningkatkan laju perekonomian melalui instrumen kebijakan ekonomi, baik fiskal maupun moneter.
3. Isu ketimpangan (inequalities).
- menyatakan keprihatinan terhadap segala bentuk ketimpangan, terkait dengan hubungan sosial, pendapatan, serta kesempatan bagi setiap individu.
4. Kesetaraan gender.
- kesetaraan gender merupakan pemenuhan hak asasi yang fundamental; oleh karena itu pemberdayaaan perempuan dan anak merupakan hal penting, termasuk dalam kontribusinya pada perekonomian dan pembangunan.
5. Perdagangan.
- menyatakan bahwa kunci pertumbuhan yang stabil terletak pada perdagangan serta investasi yang bebas, berkeadilan, dan saling menguntungkan.
- berkomitmen untuk menjaga keterbukaan pasar dan menentang proteksionisme, serta memastikan bahwa setiap aturan memberi manfaat untuk setiap pihak.
- menghapus hambatan perdagangan dan setiap intervensi pemerintah yang mendistorsi pasar.
6. Persoalan mobilitas manusia.
- adanya migrasi dan kasus pengungsi merupakan masalah nyata yang membawa dampak pada keamanan dan hak hidup manusia; maka penting sekali dilakukan pendekatan kemanusiaan untuk membantu mereka.
- menyepakati kerjasama lintas perbatasan seiring dengan perlindungan terhadap kaum imigran dan pengungsi.
7. Masalah Afrika.
- stabilitas dan keamanan wilayah Afrika memerlukan perhatian serius. Dengan demikian sangat penting dilakukan penguatan kerjasama dan dialog antar negara-negara Afrika, sehingga mampu keluar dari krisis dan konflik kawasan.
8. Ketersediaan pangan dan nutrisi.
- untuk menanggulangi masalah kelaparan, kunci utama adalah pada peningkatan nutrisi dan ketersediaan pangan, yang antara lain dilakukan melalui sistem pertanian yang berkesinambungan.
9. Iklim dan energi.
- memastikan ketersediaan energi di pasar global, serta mempromosikan sumberdaya energi dan teknologi yang bersih dan ramah lingkungan.
10. Inovasi, keterampilan, dan tenaga kerja.
- meningkatkan kesempatan dan kompetisi untuk mendorong pertumbuhan berbasis inovasi, serta memajukan usaha mikro, kecil, dan menengah (SMEs).
11. Kesehatan.
- menciptakan kesehatan global yang paripurna, dengan kebijakan yang mendukung terciptanya aspek kesehatan, baik fisik, mental, maupun sosial; serta memperkuat sistem kesehatan dan respon yang cepat sekaligus efektif pada situasi darurat kesehatan.
Sementara itu, pertemuan puncak G7 ke-44 pada 2018 di Charlevoix, Kanada, 8-9 Juni 2018, dibayangi oleh konflik yang terjadi antara Amerika Serikat dengan negara-negara anggota G7.
Adapun konflik tersebut terutama sebagai akibat kebijakan Amerika Serikat terkait tarif impor produk dari negara-negara anggota G7 (aluminium sebesar 10% dan besi sebesar 25%), sebagai konsekuensi dari kebijakan proteksionisme.
Dalam pertemuan tersebut, terdapat beberapa poin penting yang menjadi kesepakatan bersama, yakni:
1. Investasi pada pertumbuhan yang berlaku untuk semua pihak.
- menyepakati kerjasama dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi yang berkesinambungan dan menguntungkan semua pihak.
- mendukung kontribusi teknologi dalam integrasi perekonomian global.
- bekerjasama dalam pencegahan dan pemberantasan kecurangan di sektor perpajakan (tax evasion dan tax avoidance).
- menjujung tinggi terciptanya perdagangan dan investasi yang bebas, adil, serta saling menguntungkan, sehingga mampu mewujudkan pertumbuhan yang stabil dan penciptaan lapangan kerja.
- menyepakati program bantuan pembangunan untuk negara-negara berkembang dan terbelakang, dalam rangka mewujudkan agenda the Sustainable Development Goals (SDGs).
2. Mempersiapkan lapangan kerja untuk masa depan.
- mendukung penciptaan lapangan kerja yang layak untuk semua orang, serta mendesain ulang sistem pendidikan untuk meningkatkan inovasi, kreativitas, dan jiwa kewirausahaan di era digital.
3. Meningkatkan kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan.
- memastikan bahwa kesetaraan gender berlaku di semua bidang, termasuk pendidikan.
- mengatasi hambatan partisipasi perempuan dalam pengambilan keputusan, baik pada strata sosial, ekonomi, maupun politik.
- memerangi kekerasan pada perempuan dan anak, pelecehan seksual, serta segala bentuk kekerasan lainnya.
4. Membangun dunia yang lebih aman dan damai.
- meningkatkan terciptanya dunia yang lebih aman dan damai, dengan penghormatan yang setinggi-tingginya pada hak asasi manusia, serta tercapainya kesetaraan dalam hukum dan kesempatan bagi setiap orang,
- terlibat aktif dalam mengatasi berbagai ancaman, baik berupa senjata kimia di wilayah konflik seperti Eropa dan Suriah, proliferasi senjata nuklir di Korea Utara, penyelesaian konflik keamanan di Ukraina dan Semenanjung Baltik, kawasan Timur Tengah, konflik di Afrika Utara, Venezuela, dan Asia.
- melakukan pencegahan atas tindak kejahatan terorisme, korupsi, serta kekerasan terhadap hak asasi manusia dan demokrasi di seluruh dunia.
5. Bekerjasama menanggulangi masalah perubahan iklim, kelautan, serta ketersediaan sumberdaya energi yang bersih.
- secara aktif berpartisipasi dalam penanggulangan masalah peningkatan suhu permukaan bumi, perlindungan ekosistem alam, peningkatan pemanfaatan energi ramah lingkungan, dan melindungi laut dari polusi yang membahayakan ekosistem kehidupan.
Demikian perkembangan terkini terkait peran negara-negara anggota G7 untuk mewujudkan keamanan dan kesejahteraan dunia. Kita akan terus mencermati aksi nyata dari kesepakatan-kesepakatan tersebut. ***
ARTIKEL TERKAIT :
Sejarah Perkembangan Forum Kerjasama G20 (the Group of Twenty)
Melihat Sejarah Gerakan Non Blok (Non-Aligned Movement) dan Relevansinya di Dunia Modern
Sekilas tentang the Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD)
Sejarah Terbentuknya Blok Uni Eropa (the European Union)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar