Setelah bertahun-tahun dimanfaatkan untuk menilai keberhasilan ekonomi suatu negara, seiring perkembangan pengetahuan dan teknologi muncul penelitian-penelitian yang mengkritisi efektivitas Gross Domestic Product (GDP). Artikel ini merangkum studi-studi yang mempertanyakan keakuratan GDP dalam mengukur tingkat kesejahteraan masyarakat dan stabilitas makro ekonomi.
Secara historis, konsep GDP pertama kali muncul di Amerika Serikat pada era 1930’an, ketika negara tersebut dipimpin oleh Presiden Franklin D. Roosevelt.
Pada saat itu Roosevelt menginginkan adanya data terukur mengenai kondisi anggaran negara yang tersedia untuk digunakan sebagai dasar penentuan kebijakan publik. Keputusan ini diambil sebagai persiapan jikalau Amerika Serikat terlibat dalam perang dunia ke-2.
Jadi bisa disimpulkan bahwa pada awalnya, keinginan menggunakan data statistik yang tergambar dalam GDP lebih ditujukan untuk memenuhi kebutuhan finansial dalam rangka perang dunia ke-2, sambil tetap menjaga terpenuhinya standar kehidupan warga Amerika Serikat (Marcuss, R, and Richard E. Kane. US National Income and Product Statistic: Born of the Great Depression and World War II, Bureau of Economic Analysis: Survey of Current Business, 2007).
Konsep GDP juga disebut dalam pertemuan antar negara di Bretton Woods pada 1944, dimana pada saat itu disepakati terbentuknya beberapa organisasi multinasional, seperti the International Monetary Fund (IMF) dan the World Bank (Bank Dunia).
Dalam menjalankan misinya, IMF dan Bank Dunia menggunakan indeks GDP sebagai salah satu indikator untuk menilai kinerja negara-negara anggota, sekaligus jumlah dana pinjaman yang bisa didapatkan dari kedua institusi tersebut.
Studi menyebutkan bahwa sudah sejak lama para ekonom dan peneliti mempertanyakan efektivitas GDP sebagai alat ukur kesejahteraan masyarakat. Berikut ini kita akan membahas kritik-kritik terhadap indeks GDP, beserta instrumen alternatif sebagai jawaban atas kelemahan GDP.
Pandangan Simon Kuznets.
Ekonom sekaligus peneliti, Simon Kuznets, mengungkapkan keterbatasan GDP dalam menilai kesejahteraan masyarakat. Kuznets menyatakan bahwa GDP merupakan simplifikasi atas realita yang kompleks. Menurutnya, menyederhanakan kompleksitas kehidupan manusia dalam kategori-kategori yang sederhana akan sangat berbahaya apabila tidak terkontrol dengan baik.
Disamping itu Kuznets meyakini bahwa apa yang ingin diwujudkan oleh pemerintah melalui angka-angka dalam GDP hanyalah ilusi semata. Dengan kata lain, GDP tidak secara utuh memotret aktivitas manusia yang bukan sekadar makhluk ekonomi, melainkan juga makhluk sosial yang hidup dalam lingkungan yang luas (Kuznets, S. National Income 1929-1932, A report to the US Senate, 73rd Congress, 1934).
Penelitian Robert Contanza, Maureen Hart, Stephen Posner, dan John Talberth.
Penelitian oleh Costanza et.al. mempertanyakan GDP sebagai tolok ukur kesejahteraan serta tingkat pertumbuhan ekonomi sebagai alat ukur kemajuan perekonomian nasional.
Menurut penelitian tersebut, tingkat kesejahteraan masyarakat mestinya diukur dari tercapainya kebutuhan sosial jangka panjang, seperti kebutuhan pangan, perlindungan dari ketakutan dan bahaya, nilai kebebasan, serta partisipasi individu.
Dengan kata lain, kesejahteraan seharusnya dilihat dari sudut pandang yang luas; bukan hanya dilihat dari output aktivitas ekonomi.
Lebih dari itu, pembangunan berkelanjutan semestinya mengutamakan kualitas kehidupan manusia, baik secara individu maupun sebagai anggota masyarakat.
Selain itu, penelitian juga menyatakan adanya faktor-faktor tertentu yang tidak dimasukkan dalam GDP, namun berkaitan langsung dengan kesejahteraan masyarakat, misalnya pekerjaan sosial-kemanusiaan, modal sosial berupa relasi antar individu dalam komunitas, serta penurunan manfaat (depletion) sumberdaya alam.
Studi menawarkan konsep yang lebih komprehensif sebagai ukuran kesejahteraan nasional, yakni dengan memasukkan unsur-unsur sebagai berikut:
Green GDP.
Alat ukur lain yang ditawarkan untuk memperbaiki kelemahan indeks GDP adalah Green GDP. Konsep Green GDP memasukkan unsur tambahan dalam penghitungan biaya, misalnya biaya kerusakan lingkungan dan deplesi sumberdaya alam sebagai faktor pengurang pendapatan nasional. Beberapa negara, termasuk Jepang, Australia, dan Kanada telah mencoba menerapkan alat ukur ini, namun demikian evaluasi kinerjanya tidak diketahui dengan jelas.
Gross National Happiness (GNH).
Salah satu instrumen pengukuran kesejahteraan negara dikenal dengan istilah Gross National Happiness (GNH), yang diperkenalkan oleh Raja Bhutan pada awal 1970’an. Pada prinsipnya, GNH bukan sekadar indeks seperti GDP, melainkan lebih sebagai tatanan nilai budaya dan spiritual, dengan mempertimbangkan unsur ekonomi dan non-ekonomi. Sejak 2004, indeks GNH dipromosikan secara global.
Walau begitu, karena metodologi yang digunakan dianggap sulit untuk diidentifikasi, maka sampai dengan saat ini belum diterapkan secara luas.
Human Development Index (HDI).
The United Nations Development Programme (UNDP) juga memperkenalkan instrumen pengukuran kesejahteraan yang dikenal dengan nama the Human Development Index (HDI) atau indeks pembangunan manusia. Adapun ulasan mengenai Human Development Index telah dituangkan dalam artikel Hakikat Pembangunan Manusia (Human Development).
Seiring perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, maka wajar apabila muncul pertanyaan-pertanyaan atas konsep-konsep yang telah dibangun puluhan tahun sebelumnya, termasuk konsep GDP, meskipun konsep-konsep baru yang ditawarkan belum mampu menggantikan konsep yang sudah ada. **
ARTIKEL TERKAIT :
Memahami Konsep Kemiskinan
Mengenal Arti dan Tujuan SDGs (the Sustainable Development Goals)
Pembangunan Perdesaan (Rural Development)
Hakikat dan Permasalahan Distribusi Pendapatan (Income Distribution)
Secara historis, konsep GDP pertama kali muncul di Amerika Serikat pada era 1930’an, ketika negara tersebut dipimpin oleh Presiden Franklin D. Roosevelt.
Pada saat itu Roosevelt menginginkan adanya data terukur mengenai kondisi anggaran negara yang tersedia untuk digunakan sebagai dasar penentuan kebijakan publik. Keputusan ini diambil sebagai persiapan jikalau Amerika Serikat terlibat dalam perang dunia ke-2.
Jadi bisa disimpulkan bahwa pada awalnya, keinginan menggunakan data statistik yang tergambar dalam GDP lebih ditujukan untuk memenuhi kebutuhan finansial dalam rangka perang dunia ke-2, sambil tetap menjaga terpenuhinya standar kehidupan warga Amerika Serikat (Marcuss, R, and Richard E. Kane. US National Income and Product Statistic: Born of the Great Depression and World War II, Bureau of Economic Analysis: Survey of Current Business, 2007).
Konsep GDP juga disebut dalam pertemuan antar negara di Bretton Woods pada 1944, dimana pada saat itu disepakati terbentuknya beberapa organisasi multinasional, seperti the International Monetary Fund (IMF) dan the World Bank (Bank Dunia).
Dalam menjalankan misinya, IMF dan Bank Dunia menggunakan indeks GDP sebagai salah satu indikator untuk menilai kinerja negara-negara anggota, sekaligus jumlah dana pinjaman yang bisa didapatkan dari kedua institusi tersebut.
Studi menyebutkan bahwa sudah sejak lama para ekonom dan peneliti mempertanyakan efektivitas GDP sebagai alat ukur kesejahteraan masyarakat. Berikut ini kita akan membahas kritik-kritik terhadap indeks GDP, beserta instrumen alternatif sebagai jawaban atas kelemahan GDP.
Pandangan Simon Kuznets.
Ekonom sekaligus peneliti, Simon Kuznets, mengungkapkan keterbatasan GDP dalam menilai kesejahteraan masyarakat. Kuznets menyatakan bahwa GDP merupakan simplifikasi atas realita yang kompleks. Menurutnya, menyederhanakan kompleksitas kehidupan manusia dalam kategori-kategori yang sederhana akan sangat berbahaya apabila tidak terkontrol dengan baik.
Disamping itu Kuznets meyakini bahwa apa yang ingin diwujudkan oleh pemerintah melalui angka-angka dalam GDP hanyalah ilusi semata. Dengan kata lain, GDP tidak secara utuh memotret aktivitas manusia yang bukan sekadar makhluk ekonomi, melainkan juga makhluk sosial yang hidup dalam lingkungan yang luas (Kuznets, S. National Income 1929-1932, A report to the US Senate, 73rd Congress, 1934).
Penelitian Robert Contanza, Maureen Hart, Stephen Posner, dan John Talberth.
Penelitian oleh Costanza et.al. mempertanyakan GDP sebagai tolok ukur kesejahteraan serta tingkat pertumbuhan ekonomi sebagai alat ukur kemajuan perekonomian nasional.
Menurut penelitian tersebut, tingkat kesejahteraan masyarakat mestinya diukur dari tercapainya kebutuhan sosial jangka panjang, seperti kebutuhan pangan, perlindungan dari ketakutan dan bahaya, nilai kebebasan, serta partisipasi individu.
Dengan kata lain, kesejahteraan seharusnya dilihat dari sudut pandang yang luas; bukan hanya dilihat dari output aktivitas ekonomi.
Lebih dari itu, pembangunan berkelanjutan semestinya mengutamakan kualitas kehidupan manusia, baik secara individu maupun sebagai anggota masyarakat.
Selain itu, penelitian juga menyatakan adanya faktor-faktor tertentu yang tidak dimasukkan dalam GDP, namun berkaitan langsung dengan kesejahteraan masyarakat, misalnya pekerjaan sosial-kemanusiaan, modal sosial berupa relasi antar individu dalam komunitas, serta penurunan manfaat (depletion) sumberdaya alam.
Studi menawarkan konsep yang lebih komprehensif sebagai ukuran kesejahteraan nasional, yakni dengan memasukkan unsur-unsur sebagai berikut:
- modal sosial, seperti persahabatan dan kerjasama dalam komunitas.
- modal individu, antara lain berupa pengetahuan, keterampilan, dan kesehatan.
- pemanfaatan sumberdaya alam dan ekosistem, termasuk biaya penurunan manfaat terkait penggunaan sumberdaya alam dan unsur eksternalitas (externality factor), seperti biaya kerugian akibat polusi udara, air, dan sebagainya.
Green GDP.
Alat ukur lain yang ditawarkan untuk memperbaiki kelemahan indeks GDP adalah Green GDP. Konsep Green GDP memasukkan unsur tambahan dalam penghitungan biaya, misalnya biaya kerusakan lingkungan dan deplesi sumberdaya alam sebagai faktor pengurang pendapatan nasional. Beberapa negara, termasuk Jepang, Australia, dan Kanada telah mencoba menerapkan alat ukur ini, namun demikian evaluasi kinerjanya tidak diketahui dengan jelas.
Gross National Happiness (GNH).
Salah satu instrumen pengukuran kesejahteraan negara dikenal dengan istilah Gross National Happiness (GNH), yang diperkenalkan oleh Raja Bhutan pada awal 1970’an. Pada prinsipnya, GNH bukan sekadar indeks seperti GDP, melainkan lebih sebagai tatanan nilai budaya dan spiritual, dengan mempertimbangkan unsur ekonomi dan non-ekonomi. Sejak 2004, indeks GNH dipromosikan secara global.
Walau begitu, karena metodologi yang digunakan dianggap sulit untuk diidentifikasi, maka sampai dengan saat ini belum diterapkan secara luas.
Human Development Index (HDI).
The United Nations Development Programme (UNDP) juga memperkenalkan instrumen pengukuran kesejahteraan yang dikenal dengan nama the Human Development Index (HDI) atau indeks pembangunan manusia. Adapun ulasan mengenai Human Development Index telah dituangkan dalam artikel Hakikat Pembangunan Manusia (Human Development).
Seiring perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, maka wajar apabila muncul pertanyaan-pertanyaan atas konsep-konsep yang telah dibangun puluhan tahun sebelumnya, termasuk konsep GDP, meskipun konsep-konsep baru yang ditawarkan belum mampu menggantikan konsep yang sudah ada. **
ARTIKEL TERKAIT :
Memahami Konsep Kemiskinan
Mengenal Arti dan Tujuan SDGs (the Sustainable Development Goals)
Pembangunan Perdesaan (Rural Development)
Hakikat dan Permasalahan Distribusi Pendapatan (Income Distribution)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar