Dalam literatur ilmu ekonomi dikenal beberapa instrumen pengukuran kinerja perekonomian, diantaranya pertumbuhan ekonomi (economic growth), produk domestik bruto (gross domestic product/GDP), serta pendapatan per kapita (per capita income), yang penghitungannya didasarkan pada sumberdaya modal (capital resources), output produksi, dan kekayaan finansial.
Pada perkembangannya, muncul konsep-konsep baru mengenai kesejahteraan bangsa (nation welfare) yang tidak semata-mata mendasarkan diri pada hal yang bersifat materi.
Sebagai model alternatif, konsep-konsep tersebut menawarkan berbagai penilaian dengan dimensi yang lebih luas, seperti aspek psikologis dan spiritual.
Salah satu konsep yang menarik untuk didiskusikan adalah Gross National Happiness (GNH) dan Happiness Index (Indeks Kebahagiaan). Oleh karena itu, kita akan membahasnya dalam artikel ini.
Bagi sebagian pihak, GDP dianggap gagal menempatkan manusia sebagai aktor utama pembangunan, karena hanya berlandaskan faktor-faktor ekonomi, dengan memandang manusia tak lebih dari sekadar faktor tenaga kerja.
Salah satu kritikan keras disuarakan oleh Stiglitz, Sen, dan Fitoussi yang menyatakan bahwa konsep GDP gagal menjawab tantangan terkait kualitas hidup manusia sebagai individu dalam pembangunan dan pentingnya relasi antar individu dalam masyarakat.
Perspektif yang semata-mata berdasarkan pada faktor produksi dan kekuatan finansial pada akhirnya menggeser keutamaan hidup; contohnya ketika dunia dipenuhi oleh produk iklan yang menampilkan model bertubuh kekar, memakai arloji mewah, serta menenteng smartphone terbaru, maka image tersebut akan melekat dalam benak banyak orang dan menjadikannya sebagai standar orang sukses.
Sementara dari tinjauan spiritualitas, penampilan bagus dan harta yang dimiliki tidak terbukti membawa kebahagiaan hidup. Studi empiris juga mengungkapkan bahwa individu yang tidak memiliki banyak harta, bisa jadi hidupnya bahagia, karena mempunyai banyak sahabat atau hidup dalam tingkat kekerabatan yang erat.
Dari sudut pandang tersebut, muncullah gagasan Happiness Index.
Lantas, "Apa yang dimaksud dengan kebahagiaan dalam Happiness Index, dan bagaimana mengukurnya?"
Pada prinsipnya, kebahagiaan merupakan sesuatu yang abstrak dan subjektif.
Meski begitu terdapat keyakinan bahwa negara yang bahagia, selain menghasilkan pendapatan tinggi, juga memiliki ikatan kuat dalam komunitas sosial, kepercayaan masyarakat yang tinggi pada pemerintah, serta kemampuan membangun kehidupan bermasyarakat secara berkualitas.
Salah satu negara yang mencanangkan kebahagiaan sebagai indeks nasional ialah Bhutan. Konsep ini dikemukakan pertama kali oleh Raja Bhutan, Jigme Singye Wangchuck pada era 1970’an.
Dalam pandangannya, pembangunan berkelanjutan seharusnya diwujudkan melalui pendekatan holistik, dengan memperhitungkan faktor-faktor ekonomi dan non-ekonomi.
Disamping itu, kebahagiaan pada hakikatnya lebih dari sekadar inspirasi, melainkan juga prinsip utama bagi pemerintah dalam menentukan kebijakan publik. Secara filosofis dinyatakan bahwa jika suatu pemerintah tidak mampu menciptakan kebahagiaan bagi warganya, maka tidak ada gunanya pemerintah tersebut berdiri.
Secara konseptual, terdapat empat pilar yang menjadi pondasi indeks kebahagiaan, yakni:
Empat pilar tersebut dijabarkan menjadi sembilan poin sasaran, yaitu:
Dari penilaian atas poin-poin tersebut, ditetapkanlah besaran indeks kebahagiaan secara nasional (the Gross National Happiness Index).
Dalam GNH Index terdapat tiga tipe hasil pengukuran, yakni:
Namun perlu digarisbawahi bahwa pendekatan yang digunakan dalam penilaian GNH Index memiliki beberapa kelemahan, diantaranya:
Sebagai penutup, munculnya alat ukur kesejahteraan alternatif seperti Gross National Happiness dan Happiness Index menawarkan penilaian yang lebih komprehensif daripada yang sudah ada sebelumnya; meskipun harus diakui, instrumen tersebut juga memiliki keterbatasan dan mesti dikaji secara mendalam. **
ARTIKEL TERKAIT :
Mempertanyakan Efektivitas Gross Domestic Product (GDP)
Memahami Konsep Kemiskinan
Hakikat Pembangunan Manusia (Human Development)
SDGs: Perdamaian, Keadilan, dan Kerjasama Global untuk Pembangunan Jangka Panjang
Pada perkembangannya, muncul konsep-konsep baru mengenai kesejahteraan bangsa (nation welfare) yang tidak semata-mata mendasarkan diri pada hal yang bersifat materi.
Sebagai model alternatif, konsep-konsep tersebut menawarkan berbagai penilaian dengan dimensi yang lebih luas, seperti aspek psikologis dan spiritual.
Salah satu konsep yang menarik untuk didiskusikan adalah Gross National Happiness (GNH) dan Happiness Index (Indeks Kebahagiaan). Oleh karena itu, kita akan membahasnya dalam artikel ini.
Bagi sebagian pihak, GDP dianggap gagal menempatkan manusia sebagai aktor utama pembangunan, karena hanya berlandaskan faktor-faktor ekonomi, dengan memandang manusia tak lebih dari sekadar faktor tenaga kerja.
Salah satu kritikan keras disuarakan oleh Stiglitz, Sen, dan Fitoussi yang menyatakan bahwa konsep GDP gagal menjawab tantangan terkait kualitas hidup manusia sebagai individu dalam pembangunan dan pentingnya relasi antar individu dalam masyarakat.
Perspektif yang semata-mata berdasarkan pada faktor produksi dan kekuatan finansial pada akhirnya menggeser keutamaan hidup; contohnya ketika dunia dipenuhi oleh produk iklan yang menampilkan model bertubuh kekar, memakai arloji mewah, serta menenteng smartphone terbaru, maka image tersebut akan melekat dalam benak banyak orang dan menjadikannya sebagai standar orang sukses.
Sementara dari tinjauan spiritualitas, penampilan bagus dan harta yang dimiliki tidak terbukti membawa kebahagiaan hidup. Studi empiris juga mengungkapkan bahwa individu yang tidak memiliki banyak harta, bisa jadi hidupnya bahagia, karena mempunyai banyak sahabat atau hidup dalam tingkat kekerabatan yang erat.
Dari sudut pandang tersebut, muncullah gagasan Happiness Index.
Lantas, "Apa yang dimaksud dengan kebahagiaan dalam Happiness Index, dan bagaimana mengukurnya?"
Pada prinsipnya, kebahagiaan merupakan sesuatu yang abstrak dan subjektif.
Meski begitu terdapat keyakinan bahwa negara yang bahagia, selain menghasilkan pendapatan tinggi, juga memiliki ikatan kuat dalam komunitas sosial, kepercayaan masyarakat yang tinggi pada pemerintah, serta kemampuan membangun kehidupan bermasyarakat secara berkualitas.
Salah satu negara yang mencanangkan kebahagiaan sebagai indeks nasional ialah Bhutan. Konsep ini dikemukakan pertama kali oleh Raja Bhutan, Jigme Singye Wangchuck pada era 1970’an.
Dalam pandangannya, pembangunan berkelanjutan seharusnya diwujudkan melalui pendekatan holistik, dengan memperhitungkan faktor-faktor ekonomi dan non-ekonomi.
Disamping itu, kebahagiaan pada hakikatnya lebih dari sekadar inspirasi, melainkan juga prinsip utama bagi pemerintah dalam menentukan kebijakan publik. Secara filosofis dinyatakan bahwa jika suatu pemerintah tidak mampu menciptakan kebahagiaan bagi warganya, maka tidak ada gunanya pemerintah tersebut berdiri.
Secara konseptual, terdapat empat pilar yang menjadi pondasi indeks kebahagiaan, yakni:
- tata kelola pemerintahan yang baik.
- pembangunan sosial-ekonomi yang berkesinambungan.
- ketahanan dan perlindungan budaya.
- ketahanan dan pemeliharaan lingkungan.
Empat pilar tersebut dijabarkan menjadi sembilan poin sasaran, yaitu:
- kesehatan psikologis.
- kesehatan fisik.
- pendidikan.
- pemanfaatan waktu.
- ketahanan dan keanekaragaman budaya.
- tata kelola pemerintahan.
- ikatan komunitas.
- ketahanan ekologi.
- standar hidup.
Dari penilaian atas poin-poin tersebut, ditetapkanlah besaran indeks kebahagiaan secara nasional (the Gross National Happiness Index).
Dalam GNH Index terdapat tiga tipe hasil pengukuran, yakni:
- headcount, menunjukkan persentase warga yang bahagia (tingkat kebahagiaan warga negara).
- intensity, merupakan angka rata-rata warga yang menikmati kebahagiaan.
- GNH total, menunjukkan hasil akhir indeks kebahagiaan secara agregat, dimana semakin tinggi angka indeks (mendekati angka 1) menunjukkan bahwa negara tersebut semakin bahagia.
Namun perlu digarisbawahi bahwa pendekatan yang digunakan dalam penilaian GNH Index memiliki beberapa kelemahan, diantaranya:
- metodologi yang digunakan dalam GNH tidak mampu menjawab bagaimana mendistribusikan kebahagiaan kepada setiap individu; dengan kata lain, tidak bisa menjelaskan bagaimana mencapai distribusi kebahagiaan yang seimbang.
- konsep kebahagiaan bukanlah suatu tujuan fisik atau yang bisa diwakili dengan angka, tahun, maupun nilai mata uang, sehingga sulit untuk menentukan target kebahagiaan.
- kondisi bahagia merupakan kondisi subjektif individu dan tidak mewakili komunitas masyarakat, dengan demikian tidak bisa diterapkan secara kolektif, sebab kebahagiaan seseorang tidak sama dengan kebahagiaan orang lain.
Sebagai penutup, munculnya alat ukur kesejahteraan alternatif seperti Gross National Happiness dan Happiness Index menawarkan penilaian yang lebih komprehensif daripada yang sudah ada sebelumnya; meskipun harus diakui, instrumen tersebut juga memiliki keterbatasan dan mesti dikaji secara mendalam. **
ARTIKEL TERKAIT :
Mempertanyakan Efektivitas Gross Domestic Product (GDP)
Memahami Konsep Kemiskinan
Hakikat Pembangunan Manusia (Human Development)
SDGs: Perdamaian, Keadilan, dan Kerjasama Global untuk Pembangunan Jangka Panjang
Tidak ada komentar:
Posting Komentar