Jepang memiliki sejarah panjang dalam pengembangan teknologi dan industrialisasi yang membawa pengaruh signifikan pada pertumbuhan ekonomi dan pembangunan negara tersebut. Perpaduan antara riset (R&D) dan penerapan teknologi mampu mengubah negara yang sebelumnya hancur karena kekalahan di perang dunia kedua, menjadi salah satu negara maju dengan pendapatan tertinggi di dunia (high-income country). Artikel ini akan mengupas tentang industrialisasi dan perkembangan teknologi di negara Jepang.
Dengan luas area sekitar 377.9 kilometer2 dan jumlah populasi penduduk sebanyak 126.32 juta pada 2016, Jepang (Nippon-koku/the State of Japan) merupakan salah satu negara dengan pendapatan tertinggi menurut the Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD), yakni dengan menghasilkan Gross Domestic Product (GDP) kurang-lebih sebesar US$ 4.11 triliun pada 2015, dan GDP per kapita tak kurang dari US$ 32.5 ribu.
Berbicara mengenai teknologi, faktor ini diyakini menjadi elemen penting dalam era globalisasi dan peningkatan daya saing. Teknologi juga dipercaya memiliki peran utama dalam peningkatan pertumbuhan ekonomi suatu negara.
Hal ini didukung oleh studi yang dilakukan oleh Robert M. Solow. Dalam penelitiannya terkait data ekonomi Amerika Serikat 1909-1949, Solow berusaha menemukan faktor apa saja yang berpengaruh signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi selama periode tersebut. Kerangka berpikir yang digunakan adalah bahwa pertumbuhan ekonomi ditentukan oleh akumulasi modal (capital), tenaga kerja (labor), serta adanya perkembangan teknologi (catatan: Solow menggunakan istilah ‘technical change’).
Selanjutnya, faktor-faktor tersebut diukur untuk menentukan mana yang lebih dominan dalam mempengaruhi output pertumbuhan ekonomi.
Temuan yang dihasilkan menggambarkan bahwa 87.5% output pertumbuhan ekonomi dipengaruhi oleh adanya perubahan teknologi (technical change), dan hanya 12.5% yang dikarenakan adanya peningkatan modal (capital accumulation) dan jumlah tenaga kerja.
Dari studi tersebut, dapat disimpulkan bahwa pengembangan teknologi menjadi kunci bagi pembangunan ekonomi jangka panjang (Solow, Robert M. Technical Change and the Aggregate Production Function, The Review of Economics and Statistcs, Vol. 39, No. 3, pp.312-320, 1957).
Dalam konteks Jepang, awal perkembangan teknologi dan industrialisasi di negara ini dimulai sejak adanya Restorasi Meiji (Meiji Restoration) pada era 1868-1912. Era Meiji juga dikenal sebagai awal modernisasi Jepang. Era ini menjadi tonggak transformasi Jepang dari negara feodal menuju negara industri.
Adapun tujuan-tujuan pemerintahan Meiji antara lain sebagai berikut:
Disamping itu, Jepang juga mengadopsi berbagai kebudayaan barat, baik dalam hal busana (fashion), menu makanan, hiburan, serta tarian/dansa.
Meski demikian, modernisasi militer menjadi titik sentral dari transformasi tersebut. Hal ini antara lain terwujud melalui kemenangan militer Jepang atas Rusia (1904-1905), yang membuktikan betapa teknologi militer yang diterapkan Jepang pada saat itu mampu menjadikannya sebagai salah satu negara terkuat di dunia.
Namun situasi berbalik tatkala Jepang mengalami kekalahan pada perang dunia kedua/world war II (1939-1945). Selain hancurnya kota Hiroshima dan Nagasaki akibat bom yang dijatuhkan oleh tentara sekutu, kekalahan ini membawa dampak besar bagi kondisi perekonomian domestik Jepang, antara lain ditandai dengan:
Untuk memperbaiki perekonomian yang porak-poranda, maka sejak 1948, Jepang mulai mengembangkan industri-industri berskala besar, seperti industri kapal dan transportasi laut, kelistrikan, jalan kereta api, hingga industri kimia.
Disamping itu Jepang melakukan reformasi agraria, reformasi pasar perdagangan, regulasi pasar tenaga kerja, serta perbaikan taraf pendidikan. Mulai dari era ini, teknologi yang semula menitikberatkan pada bidang militer mengalami perubahan (shifting), dengan lebih berfokus pada pembangunan perekonomian dan perindustrian.
Setelah menggenjot industri-industri berskala besar, maka hal berikutnya yang dilakukan oleh pemerintah Jepang adalah peningkatan daya saing (competitiveness). Peningkatan ini antara lain dijalankan melalui perampingan/rasionalisasi produksi, penerapan teknologi terbaru, serta kebijakan-kebijakan yang mendukung pengembangan lingkungan usaha.
Selanjutnya, pada pertengahan 1950’an hingga 1970’an, Jepang memasuki babak baru industrialisasi yang ditandai dengan pertumbuhan ekonomi yang meningkat pesat, kapasitas produksi yang semakin banyak, serta national income dan konsumsi domestik yang terus menanjak, sehingga menghasilkan pertumbuhan ekonomi rata-rata hingga diatas 9% setiap tahunnya.
Industrialisasi yang begitu cepat terutama ditunjang oleh pengembangan teknologi yang tepat sasaran, penerapan scientific method, serta quality control yang ketat. Faktor lain yang memperkuat industrialisasi Jepang adalah kontribusi sektor perdagangan ekspor dan pasar ekonomi domestik yang kompetitif.
Salah satu capaian yang mengesankan adalah keberhasilan Jepang menerapkan teknologi kereta cepat (bullet train atau shinkansen) pada 1964, yang menghubungkan Tokyo dengan Osaka. Keberhasilan lain adalah adanya jalan raya bebas hambatan (super highway) yang menghubungkan kota Komaki (tidak jauh dari Nagoya) dengan Nishinomiya (dekat kota Kobe), yang disertai dengan peningkatan alat transportasi darat, seperti bus dan mobil. Dari titik ini juga yang kemudian menjadi awal kemajuan Jepang dibidang industri otomotif.
Selanjutnya, periode 1970’an-1990’an diawali dengan adanya stagnasi perekonomian dalam negeri, yang mengakibatkan melambatnya laju industri dan manufaktur. Atas hal ini, pemerintah Jepang mengambil kebijakan-kebijakan ekonomi, seperti pemberian stimulus fiskal (fiscal stimulus) dan penurunan tingkat suku bunga, untuk menggenjot kembali sektor rill dan konsumsi dalam negeri.
Selain itu pemerintah Jepang juga berupaya untuk menurunkan biaya usaha yang tinggi, meningkatkan efisiensi produksi, meningkatkan investasi pada infrastruktur, menerapkan standar produksi, serta menyediakan dana penelitian dan pelatihan bagi tenaga ahli untuk berinovasi (Haramaya, Yuko. Japanese Technology Policy: History and a New Perspective, Research Institute of Economy, Trade and Industry, 2001).
Sampai dengan saat ini, melalui pengembangan dan penerapan teknologi yang tepat sasaran, serta penciptaan inovasi secara berkelanjutan, Jepang telah mampu menunjukkan kemampuannya sebagai salah satu negara besar dengan kekuatan teknologi modern. **
UPDATE ARTIKEL (Jumat, 25 Agustus 2017):
Dalam beberapa waktu terakhir, perkembangan teknologi dan industrialisasi Jepang mengalami kemajuan yang terbilang impresif.
Seperti yang termuat di situs Kementerian Ekonomi, Perdagangan dan Industri Jepang (the Ministry of Economy, Trade and Industry), pemerintah Jepang telah melakukan berbagai kerjasama, baik secara bilateral maupun multilateral, terkait dengan pengembangan teknologi modern.
Salah satu wujud kerjasama dilakukan dengan Jerman, yakni dalam pengembangan Internet of Things (IoT), terutama berkenaan dengan sistem keamanan siber (cyber security), sistem standarisasi internasional, serta dukungan terhadap pengembangan industri kecil dan menengah (small-medium enterprises).
Sebagai catatan, Internet of Things (IoT) merupakan sebuah konsep dalam teknologi-komputerisasi, dimana objek-objek tertentu bisa terkoneksi melalui internet serta berkomunikasi satu sama lain (dictionary.cambridge.org).
Disamping itu, masih terkait dengan pengembangan IoT, pemerintah Jepang juga melakukan kesepakatan kerjasama dengan Uni Eropa (the European Union), utamanya menyangkut pertukaran informasi, rekomendasi kebijakan, serta standarisasi aktivitas dalam kerangka IoT dan IoT solutions.
Kerjasama dalam bidang teknologi juga ditujukan sebagai sistem dukungan (support system) pada bidang lain, termasuk ekonomi dan industri; serta sebagai sarana untuk menjawab tantangan pembangunan dan lingkungan hidup, misalnya masalah emisi gas buang dan problem pemanasan global (sumber: ringkasan berita dari situs Kementerian Ekonomi, Perdagangan, dan Industri Jepang, www.meti.go.jp).
Sedangkan di sektor industri jasa, saat ini Jepang tengah mengembangkan sistem robotik yang bisa difungsikan sebagai pengganti tenaga kerja manusia untuk kebutuhan rumahtangga dan jasa perawatan (nursing service), sebagai akibat dari minimnya sumberdaya manusia yang bekerja di sektor tersebut (www.japantime.co.jp, Prime time in worker-scarce Japan for investing in service robots, 22 August 2017).
Pengembangan sistem tersebut merupakan bagian integral dari teknologi Artificial Intelligence (AI) atau kecerdasan buatan, dimana komputer digital dan/atau mesin yang dikendalikan oleh komputer mampu mengerjakan tugas-tugas yang memerlukan kecerdasan tertentu (www.britannica.com)
Lebih jauh, Jepang juga sedang mengembangkan teknologi terbaru dalam hal transportasi kereta cepat dengan nama SCMAGLEV (Superconducting Magnetic Leviation), yang diproyeksikan bisa beroperasi secara penuh pada 2027. Ini merupakan teknologi pada alat transportasi kereta cepat (bullet train), dimana terdapat pengendali temperatur, peredam gangguan kelistrikan, serta mesin yang berkecepatan hingga 500 km/jam.
Teknologi ini juga dikatakan ramah lingkungan (environment-friendly technology), karena hanya membutuhkan 50% dari energi yang digunakan oleh pesawat terbang. Selain itu, teknologi tersebut juga hanya mengeluarkan emisi gas buang karbondioksida sebanyak 33% per penumpang, apabila dibandingkan dengan emisi gas buang yang dihasilkan oleh moda transportasi udara (www.japan.go.jp. SCMAGLEV: The Japanese Technology That Will Revolutionize Intercity Transport, Spring 2017).
Namun demikian, OECD dalam laporannya menegaskan bahwa anggaran besar yang digunakan pemerintah Jepang untuk pengembangan pengetahuan dan inovasi, yakni mencapai 3.5% dari total GDP Jepang pada 2015, atau urutan ketiga tertinggi diantara negara-negara anggota OECD, dalam kenyataannya tidak tercermin pada peningkatan angka pertumbuhan ekonomi (OECD. Japan Policy Brief, April 2017). Sebagai catatan, pertumbuhan ekonomi Jepang pada 2017 diprediksi mencapai 1.2%, hanya meningkat 0.2% dari tahun sebelumnya, dan bahkan diproyeksikan menurun menjadi 0.8% pada 2018.
Kita akan terus mengamati bagaimana perkembangan teknologi dan industrialisasi di Jepang berikutnya, dan seberapa besar pengaruhnya terhadap kemajuan negara tersebut. ***
ARTIKEL TERKAIT :
Mencermati Perkembangan Perekonomian Jepang
Perkembangan Industri di Korea Selatan
Mencermati Perkembangan Kekuatan Ekonomi China
Belajar dari Penurunan Populasi di Jepang
Dengan luas area sekitar 377.9 kilometer2 dan jumlah populasi penduduk sebanyak 126.32 juta pada 2016, Jepang (Nippon-koku/the State of Japan) merupakan salah satu negara dengan pendapatan tertinggi menurut the Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD), yakni dengan menghasilkan Gross Domestic Product (GDP) kurang-lebih sebesar US$ 4.11 triliun pada 2015, dan GDP per kapita tak kurang dari US$ 32.5 ribu.
Berbicara mengenai teknologi, faktor ini diyakini menjadi elemen penting dalam era globalisasi dan peningkatan daya saing. Teknologi juga dipercaya memiliki peran utama dalam peningkatan pertumbuhan ekonomi suatu negara.
Hal ini didukung oleh studi yang dilakukan oleh Robert M. Solow. Dalam penelitiannya terkait data ekonomi Amerika Serikat 1909-1949, Solow berusaha menemukan faktor apa saja yang berpengaruh signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi selama periode tersebut. Kerangka berpikir yang digunakan adalah bahwa pertumbuhan ekonomi ditentukan oleh akumulasi modal (capital), tenaga kerja (labor), serta adanya perkembangan teknologi (catatan: Solow menggunakan istilah ‘technical change’).
Selanjutnya, faktor-faktor tersebut diukur untuk menentukan mana yang lebih dominan dalam mempengaruhi output pertumbuhan ekonomi.
Temuan yang dihasilkan menggambarkan bahwa 87.5% output pertumbuhan ekonomi dipengaruhi oleh adanya perubahan teknologi (technical change), dan hanya 12.5% yang dikarenakan adanya peningkatan modal (capital accumulation) dan jumlah tenaga kerja.
Dari studi tersebut, dapat disimpulkan bahwa pengembangan teknologi menjadi kunci bagi pembangunan ekonomi jangka panjang (Solow, Robert M. Technical Change and the Aggregate Production Function, The Review of Economics and Statistcs, Vol. 39, No. 3, pp.312-320, 1957).
Dalam konteks Jepang, awal perkembangan teknologi dan industrialisasi di negara ini dimulai sejak adanya Restorasi Meiji (Meiji Restoration) pada era 1868-1912. Era Meiji juga dikenal sebagai awal modernisasi Jepang. Era ini menjadi tonggak transformasi Jepang dari negara feodal menuju negara industri.
Adapun tujuan-tujuan pemerintahan Meiji antara lain sebagai berikut:
- Industrialisasi atau modernisasi perekonomian.
- Modernisasi sistem politik.
- Modernisasi militer.
Disamping itu, Jepang juga mengadopsi berbagai kebudayaan barat, baik dalam hal busana (fashion), menu makanan, hiburan, serta tarian/dansa.
Meski demikian, modernisasi militer menjadi titik sentral dari transformasi tersebut. Hal ini antara lain terwujud melalui kemenangan militer Jepang atas Rusia (1904-1905), yang membuktikan betapa teknologi militer yang diterapkan Jepang pada saat itu mampu menjadikannya sebagai salah satu negara terkuat di dunia.
Namun situasi berbalik tatkala Jepang mengalami kekalahan pada perang dunia kedua/world war II (1939-1945). Selain hancurnya kota Hiroshima dan Nagasaki akibat bom yang dijatuhkan oleh tentara sekutu, kekalahan ini membawa dampak besar bagi kondisi perekonomian domestik Jepang, antara lain ditandai dengan:
- Lebih dari 2 juta jiwa tewas dan tak kurang dari 13 juta orang kehilangan pekerjaan.
- Kekayaaan negara yang hilang mencapai 25%.
- Produksi sektor industri jatuh hingga tinggal 10% dari keadaan sebelum perang.
- Harga komoditas pangan yang meroket dan tingkat persediaan yang rendah, sehingga memicu hiperinflasi.
Untuk memperbaiki perekonomian yang porak-poranda, maka sejak 1948, Jepang mulai mengembangkan industri-industri berskala besar, seperti industri kapal dan transportasi laut, kelistrikan, jalan kereta api, hingga industri kimia.
Disamping itu Jepang melakukan reformasi agraria, reformasi pasar perdagangan, regulasi pasar tenaga kerja, serta perbaikan taraf pendidikan. Mulai dari era ini, teknologi yang semula menitikberatkan pada bidang militer mengalami perubahan (shifting), dengan lebih berfokus pada pembangunan perekonomian dan perindustrian.
Setelah menggenjot industri-industri berskala besar, maka hal berikutnya yang dilakukan oleh pemerintah Jepang adalah peningkatan daya saing (competitiveness). Peningkatan ini antara lain dijalankan melalui perampingan/rasionalisasi produksi, penerapan teknologi terbaru, serta kebijakan-kebijakan yang mendukung pengembangan lingkungan usaha.
Selanjutnya, pada pertengahan 1950’an hingga 1970’an, Jepang memasuki babak baru industrialisasi yang ditandai dengan pertumbuhan ekonomi yang meningkat pesat, kapasitas produksi yang semakin banyak, serta national income dan konsumsi domestik yang terus menanjak, sehingga menghasilkan pertumbuhan ekonomi rata-rata hingga diatas 9% setiap tahunnya.
Industrialisasi yang begitu cepat terutama ditunjang oleh pengembangan teknologi yang tepat sasaran, penerapan scientific method, serta quality control yang ketat. Faktor lain yang memperkuat industrialisasi Jepang adalah kontribusi sektor perdagangan ekspor dan pasar ekonomi domestik yang kompetitif.
Salah satu capaian yang mengesankan adalah keberhasilan Jepang menerapkan teknologi kereta cepat (bullet train atau shinkansen) pada 1964, yang menghubungkan Tokyo dengan Osaka. Keberhasilan lain adalah adanya jalan raya bebas hambatan (super highway) yang menghubungkan kota Komaki (tidak jauh dari Nagoya) dengan Nishinomiya (dekat kota Kobe), yang disertai dengan peningkatan alat transportasi darat, seperti bus dan mobil. Dari titik ini juga yang kemudian menjadi awal kemajuan Jepang dibidang industri otomotif.
Selanjutnya, periode 1970’an-1990’an diawali dengan adanya stagnasi perekonomian dalam negeri, yang mengakibatkan melambatnya laju industri dan manufaktur. Atas hal ini, pemerintah Jepang mengambil kebijakan-kebijakan ekonomi, seperti pemberian stimulus fiskal (fiscal stimulus) dan penurunan tingkat suku bunga, untuk menggenjot kembali sektor rill dan konsumsi dalam negeri.
Selain itu pemerintah Jepang juga berupaya untuk menurunkan biaya usaha yang tinggi, meningkatkan efisiensi produksi, meningkatkan investasi pada infrastruktur, menerapkan standar produksi, serta menyediakan dana penelitian dan pelatihan bagi tenaga ahli untuk berinovasi (Haramaya, Yuko. Japanese Technology Policy: History and a New Perspective, Research Institute of Economy, Trade and Industry, 2001).
Sampai dengan saat ini, melalui pengembangan dan penerapan teknologi yang tepat sasaran, serta penciptaan inovasi secara berkelanjutan, Jepang telah mampu menunjukkan kemampuannya sebagai salah satu negara besar dengan kekuatan teknologi modern. **
UPDATE ARTIKEL (Jumat, 25 Agustus 2017):
Dalam beberapa waktu terakhir, perkembangan teknologi dan industrialisasi Jepang mengalami kemajuan yang terbilang impresif.
Seperti yang termuat di situs Kementerian Ekonomi, Perdagangan dan Industri Jepang (the Ministry of Economy, Trade and Industry), pemerintah Jepang telah melakukan berbagai kerjasama, baik secara bilateral maupun multilateral, terkait dengan pengembangan teknologi modern.
Salah satu wujud kerjasama dilakukan dengan Jerman, yakni dalam pengembangan Internet of Things (IoT), terutama berkenaan dengan sistem keamanan siber (cyber security), sistem standarisasi internasional, serta dukungan terhadap pengembangan industri kecil dan menengah (small-medium enterprises).
Sebagai catatan, Internet of Things (IoT) merupakan sebuah konsep dalam teknologi-komputerisasi, dimana objek-objek tertentu bisa terkoneksi melalui internet serta berkomunikasi satu sama lain (dictionary.cambridge.org).
Disamping itu, masih terkait dengan pengembangan IoT, pemerintah Jepang juga melakukan kesepakatan kerjasama dengan Uni Eropa (the European Union), utamanya menyangkut pertukaran informasi, rekomendasi kebijakan, serta standarisasi aktivitas dalam kerangka IoT dan IoT solutions.
Kerjasama dalam bidang teknologi juga ditujukan sebagai sistem dukungan (support system) pada bidang lain, termasuk ekonomi dan industri; serta sebagai sarana untuk menjawab tantangan pembangunan dan lingkungan hidup, misalnya masalah emisi gas buang dan problem pemanasan global (sumber: ringkasan berita dari situs Kementerian Ekonomi, Perdagangan, dan Industri Jepang, www.meti.go.jp).
Sedangkan di sektor industri jasa, saat ini Jepang tengah mengembangkan sistem robotik yang bisa difungsikan sebagai pengganti tenaga kerja manusia untuk kebutuhan rumahtangga dan jasa perawatan (nursing service), sebagai akibat dari minimnya sumberdaya manusia yang bekerja di sektor tersebut (www.japantime.co.jp, Prime time in worker-scarce Japan for investing in service robots, 22 August 2017).
Pengembangan sistem tersebut merupakan bagian integral dari teknologi Artificial Intelligence (AI) atau kecerdasan buatan, dimana komputer digital dan/atau mesin yang dikendalikan oleh komputer mampu mengerjakan tugas-tugas yang memerlukan kecerdasan tertentu (www.britannica.com)
Lebih jauh, Jepang juga sedang mengembangkan teknologi terbaru dalam hal transportasi kereta cepat dengan nama SCMAGLEV (Superconducting Magnetic Leviation), yang diproyeksikan bisa beroperasi secara penuh pada 2027. Ini merupakan teknologi pada alat transportasi kereta cepat (bullet train), dimana terdapat pengendali temperatur, peredam gangguan kelistrikan, serta mesin yang berkecepatan hingga 500 km/jam.
Teknologi ini juga dikatakan ramah lingkungan (environment-friendly technology), karena hanya membutuhkan 50% dari energi yang digunakan oleh pesawat terbang. Selain itu, teknologi tersebut juga hanya mengeluarkan emisi gas buang karbondioksida sebanyak 33% per penumpang, apabila dibandingkan dengan emisi gas buang yang dihasilkan oleh moda transportasi udara (www.japan.go.jp. SCMAGLEV: The Japanese Technology That Will Revolutionize Intercity Transport, Spring 2017).
Namun demikian, OECD dalam laporannya menegaskan bahwa anggaran besar yang digunakan pemerintah Jepang untuk pengembangan pengetahuan dan inovasi, yakni mencapai 3.5% dari total GDP Jepang pada 2015, atau urutan ketiga tertinggi diantara negara-negara anggota OECD, dalam kenyataannya tidak tercermin pada peningkatan angka pertumbuhan ekonomi (OECD. Japan Policy Brief, April 2017). Sebagai catatan, pertumbuhan ekonomi Jepang pada 2017 diprediksi mencapai 1.2%, hanya meningkat 0.2% dari tahun sebelumnya, dan bahkan diproyeksikan menurun menjadi 0.8% pada 2018.
Kita akan terus mengamati bagaimana perkembangan teknologi dan industrialisasi di Jepang berikutnya, dan seberapa besar pengaruhnya terhadap kemajuan negara tersebut. ***
ARTIKEL TERKAIT :
Mencermati Perkembangan Perekonomian Jepang
Perkembangan Industri di Korea Selatan
Mencermati Perkembangan Kekuatan Ekonomi China
Belajar dari Penurunan Populasi di Jepang
terimakasih atas infonya, sangat membantu.. jangan lupa visit http://wartawarga.gunadarma.ac.id/
BalasHapuswihh keren artikel nya menambah ilmu pengetahuan tentang negara yang maju boleh dilihat juga puyny saya it solution indonesia
BalasHapusIni menarik sbg referensi..... perhatian pemerintah pada sektor riil berbasis pemanfaatan teknologi tampaknya sdh menunjukkan tanda2 keseriusan...
BalasHapusKeren informasinya
BalasHapusbermanfaat bagi yang berpikir untuk
indonesia yang lebih maju
Sejarah mencatat, Jepang memang salah satu negara dengan kekuatan ekstra dalam banyak hal.
BalasHapus