Bagi pelaku ekonomi, khususnya yang terlibat dalam perdagangan internasional (ekspor-impor) atau mereka yang menekuni dunia pasar uang (forex market), istilah Purchasing Power Parity (PPP) merupakan hal yang acapkali ditemui, baik dalam proyeksi, kalkulasi, maupun evaluasi transaksi. Pada kesempatan kali ini kita akan mempelajari konsep dasar Purchasing Power Parity (PPP) dan pemanfaatannya dalam perekonomian dan perdagangan.
Sejarah Teori Purchasing Power Parity.
Beberapa studi menyebutkan bahwa secara teoretis, konsep Purchasing Power Parity pertama kali diperkenalkan oleh the Salamanca School pada abad ke-16, di Spanyol; serta pada tulisan Gerrard de Malynes (1601) di Inggris.
Sementara negara-negara seperti Inggris, Perancis, dan Swedia diyakini telah menerapkan konsep yang mirip PPP dalam hubungannya dengan transaksi dan pencatatan logam mulia (bullion transaction and report).
Beberapa ekonom seperti David Ricardo, John Stuart Mill, dan Alfred Marshall juga mengembangkan konsep yang serupa dengan PPP dalam studi-studi mereka.
Namun jika ditelusur dari penerapan konsep, Gustav Cassel (1918) diyakini menjadi peneliti pertama yang mengaplikasikan Purchasing Power Parity dalam studinya.
Dalam studi tersebut Cassel menyatakan PPP sebagai alat untuk menyesuaikan tingkat nilai tukar (exchange rate) bagi negara-negara yang berniat kembali menganut sistem emas (gold standard), mengingat bahwa negara yang meninggalkan sistem emas telah mengalami perubahan signifikan dalam penentuan tingkat inflasi, baik selama maupun setelah perang dunia pertama (Dornbusch, Rudiger. Purchasing Power Parity, NBER Working Paper Series No. 1591, 1985).
Konstruksi Purchasing Power Parity.
Pada dasarnya, Purchasing Power Parity merupakan teori yang menjelaskan bahwa nilai tukar antara dua mata uang akan berubah sesuai dengan perubahan tingkat harga relatif pada dua negara yang bertransaksi dengan menggunakan mata uang tersebut; atau dengan kata lain, nilai tukar nominal dari dua mata uang seharusnya setara dengan rasio tingkat harga agregat diantara dua negara tersebut.
Hal ini mengandung pengertian bahwa nilai satu unit mata uang suatu negara memiliki daya beli yang sama jika digunakan di negara lain.
Gambaran sederhana dari teori PPP adalah sebagai berikut: jika harga produk X dijual di dalam negeri (negara A) berharga 1/unit, maka ketika produk X yang sama dijual diluar negeri (negara B), akan berharga (e x 1)/unit, dimana e mengindikasikan nilai tukar mata uang antara negara A dan B. Konsep ini disebut juga sebagai strong PPP atau absolute PPP, dimana nilai tukar mata uang (e) dianggap konstan (tidak mengalami perubahan).
Secara teoretis, konsep diatas tidak menimbulkan persoalan; akan tetapi, mengingat bahwa nilai mata uang selalu berfluktuasi, serta adanya biaya-biaya yang terkait dengan penjualan produk di negara lain (misalnya biaya transportasi, ongkos penyimpanan, pajak, bea cukai, dan lain-lain), maka konsep tersebut tidak bisa diterapkan begitu saja.
The Law of One Price (LOP).
Konstruksi dasar PPP juga bisa ditelusuri dari konsep the Law of One Price (LOP). Adapun penggambaran LOP adalah sebagai berikut:
Misalnya harga produk A dijual di Amerika Serikat seharga US$ 10/unit. Sementara produk yang sama di jual di Jepang dengan harga ¥600 (dengan asumsi bahwa nilai tukar per US$ 1 setara dengan ¥ 100).
Apabila dihitung dengan hukum satu harga, maka nilai produk A yang ada di Jepang hanya setara dengan US$ 6/unit (jika US$ 1 = ¥ 100, maka US$ 6 = ¥ 600). Keadaan ini disebut juga dengan Good Arbitrage atau International Arbitrage. Dalam kondisi seperti ini, ada keuntungan ketika membeli produk A di Jepang dan menjualnya di Amerika dengan harga yang lebih tinggi, dengan asumsi tidak ada biaya lain-lain (transportasi, bea cukai, dan sebagainya).
Pada periode tertentu, karena permintaan produk A di Jepang meningkat (akibat harga yang lebih kompetitif, US$ 6/unit), sementara disaat yang sama permintaan produk A di Amerika Serikat menurun (karena harga yang lebih mahal, US$ 10/unit), maka akan terjadi kenaikan harga di Jepang (akibat kelebihan permintaan); sebaliknya, karena terjadi penurunan permintaan di Amerika Serikat, maka harga juga akan turun.
Kondisi ini pada suatu saat akan menemui titik keseimbangan, katakan harga produk A di Amerika Serikat menjadi US$ 8/unit dan di Jepang menjadi ¥ 800/unit.
Sekali lagi, penggambaran diatas merupakan teori dengan asumsi-asumsi yang harus dipenuhi, yang tentunya tidak berlaku di dunia nyata. PPP sendiri pada dasarnya bisa dilihat sebagai konsep agregat dari The Law of One Price.
Jadi kesimpulannya, Purchasing Power Parity mengkondisikan bahwa pasar yang identik harus menjual produk dengan harga yang identik, meski berada di lokasi/negara lain, tanpa memperhatikan biaya-biaya yang terkait dengan produk tersebut (Sarno, Lucio, and Mark P. Taylor. Purchasing Power Parity and the Real Exchange Rate, IMF Staff Papers Vol 49, No. 1, 2002).
Sebagai informasi, berbeda dengan absolute PPP, relative PPP mensyaratkan bahwa nilai tukar mata uang antar dua negara harus selalu disesuaikan seturut dengan perbedaan tingkat inflasi dimasing-masing negara. Konsep relative PPP inilah yang kemudian lebih sering digunakan karena dianggap lebih realistis.
Pemanfaatan Purchasing Power Parity.
Meskipun memiliki kelemahan-kelemahan karena adanya asumsi-asumsi yang harus dipenuhi, konsep Purchasing Power Parity tetap digunakan sebagai salah satu tolok ukur yang digunakan dalam menentukan income dan standar upah layak, yang secara internasional diadopsi oleh lembaga multinasional seperti Bank Dunia (the World Bank). Sebagai alat ukur perbandingan data, PPP memberikan gambaran yang cukup penting bagi penilaian kinerja ekonomi nasional.
Selain itu, dalam kaitannya dengan nilai tukar mata uang (exchange rate), PPP digunakan sebagai perbandingan rata-rata biaya produk dan jasa antar negara. Asumsinya bahwa kegiatan perdagangan internasional (ekspor-impor) memicu perubahan pada nilai tukar mata uang. Artinya, transaksi dalam mata uang suatu negara mempengaruhi nilai tukar mata uang negara tersebut di pasar uang (forex market).
Penutup.
Konsep Purchasing Power Parity (PPP) lahir dari kebutuhan dalam rangka perdagangan internasional, serta terkait erat dengan nilai tukar mata uang antar negara; sehingga meskipun memiliki kelemahan dalam konstruksi teorinya, Purchasing Power Parity tetap digunakan sebagai salah satu alat ukur penting dalam perekonomian dan perdagangan. **
ARTIKEL TERKAIT :
Merkantilisme dalam Sejarah Perekonomian dan Perdagangan Dunia
Arti dan Fungsi Indeks Keyakinan Konsumen (Consumer Confidence Index) dalam Perekonomian
Memahami Maksud dan Tujuan Kebijakan Moneter
Hakikat dan Permasalahan Distribusi Pendapatan (Income Distribution)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar