Sejarah perekonomian dunia sudah berlangsung sejak berabad-abad silam. Bisa dikatakan bahwa ketika manusia mulai hadir di dunia dan menyadari berbagai kebutuhan untuk hidup, saat itulah dia mengenal konsep ekonomi; oleh karenanya tidak salah apabila disebutkan bahwa manusia adalah makhluk ekonomi.
Pada periode dimana negara-negara di dunia memandang penting untuk mencukupi kebutuhan dan memupuk kekayaan, mulai dikenal pula konsep-konsep ekonomi yang dipraktikkan dalam interaksi dengan pihak-pihak lain.
Salah satu konsep ekonomi tersebut adalah merkantilisme (mercantilism). Tulisan ini akan menyajikan pemahaman sederhana tentang konsep dan praktik merkantilisme.
Konsep merkantilisme sudah ada sejak pertengahan abad ke-15. Beberapa tokoh yang terkait dengan praktik merkantilisme antara lain adalah Jean Baptiste Colbert (seorang arsitek dan menteri keuangan pada masa pemerintahan Louis XIV, Perancis), Gerard de Malynes, Thomas Mun, dan Sir James Steuart.
Ketika itu merkantilisme disebut sebagai sebuah ‘revolusi perdagangan’. Hal tersebut terjadi karena adanya transisi atau pergeseran basis perekonomian, dari basis ekonomi lokal menjadi ekonomi nasional; dari konsep feodalisme menuju praktik kapitalisme; serta dari perdagangan dalam lingkup terbatas menjadi perdagangan dalam skala internasional.
Selama tiga abad berikutnya, yakni kurun waktu abad ke-16 hingga abad ke-18, merkantilisme menjadi praktik ekonomi yang dianut oleh banyak negara, terutama di Benua Eropa, dalam rangka melakukan perdagangan dan mengumpulkan kekayaan negara.
Praktik merkantilisme sendiri disebut sebagai salah satu indikasi bahwa suatu negara sedang menuju fase kemakmuran, hal ini terkait dengan jumlah sumberdaya/kekayaan yang dimiliki, serta skala dan kuantitas produk yang diperdagangkan.
Teori yang mendasari sistem merkantilisme sebenarnya sederhana, yakni bahwa dunia memiliki keterbatasan sumberdaya atau kekayaaan (wealth), sehingga mengumpulkan kekayaan sebanyak-banyaknya menjadi salah satu tolok ukur utama untuk menunjukkan kemakmuran suatu negara.
Karena kemakmuran juga menjadi simbol kekuatan negara, oleh karenanya untuk menambah kekayaan, negara tersebut mesti melakukan pertukaran kekayaan dengan dengan negara lain melalui perpindahan barang. Perpindahan barang ini dikemudian hari dikenal dengan istilah ekspor dan impor perdagangan.
Dari pertukaran barang tersebut - misalnya produk kapas disatu sisi dengan produk tembakau disisi lain, dengan nilai kesepakatan sebut saja 10 kuintal kapas senilai dengan 10 kuintal tembakau -, maka ketika satu negara hanya memiliki 8 kuintal kapas dan membutuhkan 10 kuintal tembakau, negara tersebut harus menambahkan logam mulia (emas atau perak) dalam jumlah tertentu sebagai pengganti kekurangan nilai tukar barang. Konsep inilah yang dinamakan merkantilisme.
Merkantilisme juga diyakini sebagai alasan utama banyak negara Eropa melakukan kolonialisme atas negara lain yang memiliki kekayaan alam dan sumber-sumber produksi, terutama di wilayah Afrika dan Asia (Cranny, Michael. Crossroads: A Meeting of Nations, 1998).
Sebagai informasi, dalam arti sederhana, istilah kolonialisme (colonialism) berasal dari kata colony. Koloni (colony) merujuk pada wilayah atau negara yang memiliki banyak sumberdaya/ hasil alam. Ketika suatu negara melakukan kolonialisme pada negara lain, maka negara yang menjadi koloni memiliki kewajiban untuk menyediakan sumberdaya yang dimiliki, untuk dijual hanya kepada negara yang menguasai/menjadi tuan dari koloni tersebut (home countries).
Lebih lanjut, terdapat beberapa ciri khas yang ada dalam konsep merkantilisme, antara lain:
Namun demikian, terdapat studi lain yang menyebutkan bahwa merkantilisme bukanlah sebuah pemikiran yang sistematis karena tidak memiliki kajian komprehensif. Disamping itu, merkantilisme juga dinyatakan bukan merupakan basis konsep yang konsisten, karena lebih terfokus pada penerapan prinsip-prinsip yang disepakati oleh pihak-pihak yang berkepentingan (Spiegel, H.W. The Growth of Economic Thought, 1991).
Selain itu, meski praktik merkantilisme berlangsung selama beberapa abad, terdapat pandangan-pandangan yang mengkritisi konsep tersebut, salah satunya diutarakan oleh seorang Ekonom terkenal pada masa itu, Adam Smith, yang dituangkan dalam bukunya The Wealth of the Nations (1776).
Dalam perspektifnya, Smith berpendapat bahwa jika kemakmuran/kekayaan suatu negara di titik-beratkan pada jumlah logam mulia (emas, perak) serta sumber kekayaan alam yang dimiliki, maka hal tersebut berimplikasi bahwa ekspor akan berkonotasi positif (menambah kekayaan) sementara impor berkonotasi negatif (mengurangi kekayaan).
Berikutnya, Smith menyatakan bahwa sistem merkantilisme lebih merupakan sistem yang bersifat zero-sum game daripada positive-sum game. Dalam zero-sum game, sesungguhnya tidak ada satu negara pun yang memperoleh hasil positif dari perdagangan yang dilakukan.
Disamping itu Smith mengungkapkan bahwa kemakmuran/kekayaan suatu negara bukanlah bersumber dari jumlah logam mulia yang dimiliki, melainkan sumberdaya produktif, yakni tanah/bahan baku (land), tenaga kerja (labor), dan modal (capital), serta efisiensi dalam pemanfaatan faktor produksi tersebut (Smith, Adam. An Inquiry into the Nature and Causes of the Wealth of Nations, 1776).
Sebagai penutup, setiap konsep dan praktik ekonomi mengalami kejayaan pada jamannya masing-masing. Demikian halnya dengan konsep merkantilisme dengan segala kelebihan dan kekurangan yang melekat pada dirinya, yang telah dipraktikkan selama lebih dari 300 tahun. **
ARTIKEL TERKAIT :
Melihat Progress Pelaksanaan SDGs (the Sustainable Development Goals)
Menyoroti Perkembangan Industri Ritel (Retail Industry) di Era Digitalisasi
Mengenal Kebijakan Proteksionisme dalam Perekonomian dan Perdagangan
Konsep dan Permasalahan dalam Perdagangan Internasional
Pada periode dimana negara-negara di dunia memandang penting untuk mencukupi kebutuhan dan memupuk kekayaan, mulai dikenal pula konsep-konsep ekonomi yang dipraktikkan dalam interaksi dengan pihak-pihak lain.
Salah satu konsep ekonomi tersebut adalah merkantilisme (mercantilism). Tulisan ini akan menyajikan pemahaman sederhana tentang konsep dan praktik merkantilisme.
Konsep merkantilisme sudah ada sejak pertengahan abad ke-15. Beberapa tokoh yang terkait dengan praktik merkantilisme antara lain adalah Jean Baptiste Colbert (seorang arsitek dan menteri keuangan pada masa pemerintahan Louis XIV, Perancis), Gerard de Malynes, Thomas Mun, dan Sir James Steuart.
Ketika itu merkantilisme disebut sebagai sebuah ‘revolusi perdagangan’. Hal tersebut terjadi karena adanya transisi atau pergeseran basis perekonomian, dari basis ekonomi lokal menjadi ekonomi nasional; dari konsep feodalisme menuju praktik kapitalisme; serta dari perdagangan dalam lingkup terbatas menjadi perdagangan dalam skala internasional.
Selama tiga abad berikutnya, yakni kurun waktu abad ke-16 hingga abad ke-18, merkantilisme menjadi praktik ekonomi yang dianut oleh banyak negara, terutama di Benua Eropa, dalam rangka melakukan perdagangan dan mengumpulkan kekayaan negara.
Praktik merkantilisme sendiri disebut sebagai salah satu indikasi bahwa suatu negara sedang menuju fase kemakmuran, hal ini terkait dengan jumlah sumberdaya/kekayaan yang dimiliki, serta skala dan kuantitas produk yang diperdagangkan.
Teori yang mendasari sistem merkantilisme sebenarnya sederhana, yakni bahwa dunia memiliki keterbatasan sumberdaya atau kekayaaan (wealth), sehingga mengumpulkan kekayaan sebanyak-banyaknya menjadi salah satu tolok ukur utama untuk menunjukkan kemakmuran suatu negara.
Karena kemakmuran juga menjadi simbol kekuatan negara, oleh karenanya untuk menambah kekayaan, negara tersebut mesti melakukan pertukaran kekayaan dengan dengan negara lain melalui perpindahan barang. Perpindahan barang ini dikemudian hari dikenal dengan istilah ekspor dan impor perdagangan.
Dari pertukaran barang tersebut - misalnya produk kapas disatu sisi dengan produk tembakau disisi lain, dengan nilai kesepakatan sebut saja 10 kuintal kapas senilai dengan 10 kuintal tembakau -, maka ketika satu negara hanya memiliki 8 kuintal kapas dan membutuhkan 10 kuintal tembakau, negara tersebut harus menambahkan logam mulia (emas atau perak) dalam jumlah tertentu sebagai pengganti kekurangan nilai tukar barang. Konsep inilah yang dinamakan merkantilisme.
Merkantilisme juga diyakini sebagai alasan utama banyak negara Eropa melakukan kolonialisme atas negara lain yang memiliki kekayaan alam dan sumber-sumber produksi, terutama di wilayah Afrika dan Asia (Cranny, Michael. Crossroads: A Meeting of Nations, 1998).
Sebagai informasi, dalam arti sederhana, istilah kolonialisme (colonialism) berasal dari kata colony. Koloni (colony) merujuk pada wilayah atau negara yang memiliki banyak sumberdaya/ hasil alam. Ketika suatu negara melakukan kolonialisme pada negara lain, maka negara yang menjadi koloni memiliki kewajiban untuk menyediakan sumberdaya yang dimiliki, untuk dijual hanya kepada negara yang menguasai/menjadi tuan dari koloni tersebut (home countries).
Lebih lanjut, terdapat beberapa ciri khas yang ada dalam konsep merkantilisme, antara lain:
- Adanya monopoli oleh negara-negara tertentu (home countries) terhadap produk-produk yang dihasilkan oleh negara koloni (colony).
- Tarif tinggi pada barang-barang hasil produksi yang dinikmati home countries; sementara disisi lain, keuntungan/upah yang relatif rendah bagi negara-negara yang menjadi koloni.
- Larangan untuk mengekspor logam mulia (bullion metals) seperti emas dan perak.
- Larangan perdagangan yang diangkut dengan angkutan (kapal) pihak ketiga.
Namun demikian, terdapat studi lain yang menyebutkan bahwa merkantilisme bukanlah sebuah pemikiran yang sistematis karena tidak memiliki kajian komprehensif. Disamping itu, merkantilisme juga dinyatakan bukan merupakan basis konsep yang konsisten, karena lebih terfokus pada penerapan prinsip-prinsip yang disepakati oleh pihak-pihak yang berkepentingan (Spiegel, H.W. The Growth of Economic Thought, 1991).
Selain itu, meski praktik merkantilisme berlangsung selama beberapa abad, terdapat pandangan-pandangan yang mengkritisi konsep tersebut, salah satunya diutarakan oleh seorang Ekonom terkenal pada masa itu, Adam Smith, yang dituangkan dalam bukunya The Wealth of the Nations (1776).
Dalam perspektifnya, Smith berpendapat bahwa jika kemakmuran/kekayaan suatu negara di titik-beratkan pada jumlah logam mulia (emas, perak) serta sumber kekayaan alam yang dimiliki, maka hal tersebut berimplikasi bahwa ekspor akan berkonotasi positif (menambah kekayaan) sementara impor berkonotasi negatif (mengurangi kekayaan).
Berikutnya, Smith menyatakan bahwa sistem merkantilisme lebih merupakan sistem yang bersifat zero-sum game daripada positive-sum game. Dalam zero-sum game, sesungguhnya tidak ada satu negara pun yang memperoleh hasil positif dari perdagangan yang dilakukan.
Disamping itu Smith mengungkapkan bahwa kemakmuran/kekayaan suatu negara bukanlah bersumber dari jumlah logam mulia yang dimiliki, melainkan sumberdaya produktif, yakni tanah/bahan baku (land), tenaga kerja (labor), dan modal (capital), serta efisiensi dalam pemanfaatan faktor produksi tersebut (Smith, Adam. An Inquiry into the Nature and Causes of the Wealth of Nations, 1776).
Sebagai penutup, setiap konsep dan praktik ekonomi mengalami kejayaan pada jamannya masing-masing. Demikian halnya dengan konsep merkantilisme dengan segala kelebihan dan kekurangan yang melekat pada dirinya, yang telah dipraktikkan selama lebih dari 300 tahun. **
ARTIKEL TERKAIT :
Melihat Progress Pelaksanaan SDGs (the Sustainable Development Goals)
Menyoroti Perkembangan Industri Ritel (Retail Industry) di Era Digitalisasi
Mengenal Kebijakan Proteksionisme dalam Perekonomian dan Perdagangan
Konsep dan Permasalahan dalam Perdagangan Internasional
Artikel yang bagus.. terimakasih, sangat membantu lhoo
BalasHapus