Sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, Indonesia (the Republic of Indonesia) memiliki kekayaan alam yang luar biasa besar dan beraneka ragam. Dengan gugusan pulau-pulau yang terbentang dari ujung barat hingga ujung timur yang berjumlah lebih dari 13 ribu pulau, Indonesia menyajikan keindahan yang sulit ditemui di belahan bumi lainnya. Tulisan ini merupakan bagian pertama dari pokok bahasan tentang kondisi perekonomian Indonesia dan berbagai permasalahan yang ada didalamnya.
Terletak di Benua Asia, tepatnya di Asia Tenggara, Indonesia merupakan negara kesatuan yang berbentuk republik dan dipimpin oleh seorang presiden sebagai kepala negara sekaligus kepala pemerintahan.
Indonesia juga merupakan salah satu negara yang dilintasi oleh garis khatulistiwa (equator), membuatnya memiliki iklim tropis, dengan musim panas dan musim penghujan yang datang secara bergantian.
Menurut Badan Informasi Geospasial (Geospatial Information Agency), jumlah pulau yang terdapat di Indonesia adalah sebanyak 13,466 pulau, dengan luas daratan sebesar 1.92 juta kilometer2 dan luas perairan 3.25 juta kilometer2. Hal ini menjadikan Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di dunia (www.bakosurtanal.go.id, Indonesia Memiliki 13.466 Pulau yang Terdaftar dan Berkoordinat).
Indonesia juga terkenal akan kekayaan alam, mulai dari kekayaan hayati, seperti hutan tropis, hutan mangrove, aneka flora dan fauna yang hidup di darat maupun perairan (sungai dan laut), serta kekayaan sumberdaya mineral dan energi, seperti minyak bumi, batu bara, bijih besi, bauksit, timah, hingga tambang emas.
Beberapa referensi bahkan menyebutkan bahwa Indonesia memiliki tambang emas dengan kualitas terbaik di dunia, cadangan gas alam terbesar di dunia, tambang batu bara terbesar di dunia, hutan tropis dan mangrove terluas ketiga di dunia, serta sederet kekayaan lain yang tidak dijumpai di negara manapun.
Indonesia juga kaya akan kebudayaan yang beraneka rupa. Dengan bermacam-macam suku bangsa beserta adat-istiadat masyarakat yang mendiami pulau-pulau di Indonesia, tak pelak membuat Indonesia sangat ‘berwarna’ dalam hal kebudayaan. Adapun keragaman masyarakat (suku bangsa, bahasa daerah, agama dan kepercayaan) diikat dalam satu simpul yang dinamai ‘Bhinneka Tunggal Ika’ atau Unity in Diversity, yang menekankan makna kesatuan dalam perbedaan.
Selanjutnya dari jumlah penduduk, Indonesia dihuni oleh lebih dari 258 juta populasi penduduk pada 2015. Sementara menurut Badan Pusat Statistik (Statistics Indonesia), rata-rata pertumbuhan penduduk Indonesia dalam laporan terakhir (2010 – 2014) berada dikisaran 1.40% per tahun.
Kemudian dari perspektif ekonomi, Indonesia menghasilkan Gross Domestic Product (GDP current-prices based) sebesar US$ 937 milliar pada 2016, dengan pendapatan per kapita kurang lebih sebanyak US$ 3,620. Angka tersebut mengalami peningkatan dari tahun sebelumnya yang mencatatkan GDP sebesar US$ 859 milliar dan GDP per kapita sebesar US$ 3,362.
Sedangkan pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2016 diperkirakan mencapai 5.1 % atau meningkat dari tahun 2015 yang mencatatkan angka 4.8%, dengan inflasi sebesar 4.3%. Pertumbuhan ekonomi Indonesia diproyeksikan meningkat di 2017 sebesar 5.3%.
Namun demikian peningkatan pertumbuhan ekonomi nasional tidak diimbangi dengan pemerataan pendapatan; dengan kata lain masih terdapat ketimpangan pendapatan (income equality) yang cukup besar, ditunjukkan dari Indeks Gini (Gini ratio) yang berada di angka 0.41.
Dalam hal kerjasama internasional, Indonesia terlibat secara aktif dalam berbagai kerjasama bilateral maupun multilateral. Selain menjadi salah satu pendiri organisasi kerjasama se-Asia Tenggara, ASEAN (Association of South East Asian Countries) dan pengembangan kerjasama'nya seperti ASEAN Plus Three, Indonesia juga tergabung dalam beberapa forum kerjasama internasional, diantaranya the World Trade Organization (WTO), the Group of Twenty (G20), Asia-Pacific Economic Cooperation (APEC), dan Gerakan Non Blok (Non-Aligned Movement).
Kondisi Pasca Kemerdekaan.
Dalam sejarahnya, negara Indonesia mengalami beberapa periode penjajahan oleh negara-negara lain, seperti Belanda, Jepang, Portugis, dan Inggris, sebelum menyatakan kemerdekaan pada 17 Agustus 1945.
Pada awal masa kemerdekaan hingga era 1960’an, problem yang dihadapi Indonesia berasal dari faktor internal maupun eksternal. Dari sisi domestik, kondisi negara yang belum stabil secara politik maupun ekonomi membawa berbagai pertikaian politik dan ideologi, hingga memunculkan pemberontakan-pemberontakan di wilayah-wilayah tertentu.
Sementara problem eksternal adalah situasi dunia pasca perang dunia ke-2, dimana banyak negara mengalami kerugian secara ekonomi, ditambah lagi ketika dunia mulai memasuki periode perang dingin (cold war) di era 1960’an, saat banyak negara tersekat dalam poros-poros kekuatan yang saling berlawanan.
Pada akhir era 1960’an, Pemerintah Indonesia mencanangkan program pembangunan berjangka lima tahunan, atau yang lebih dikenal dengan istilah Repelita (Rencana Pembangunan Lima Tahun). Setiap Repelita, yang dimulai pada periode 1969-1974, menitikberatkan pada pembangunan tertentu, seperti pemenuhan kebutuhan dasar dan infrastruktur pertanian, pembangunan pulau-pulau utama dan program transmigrasi, peningkatan industri padat karya untuk menunjang daya saing ekspor, serta pembangunan sarana transportasi, komunikasi, dan pendidikan.
Alhasil, Indonesia berhasil memasuki swasembada pangan para era 1980’an hingga awal 1990’an, ditunjang dengan pertumbuhan ekonomi yang stabil dan kondisi politik dalam negeri yang relatif kondusif. Maka tidak mengherankan apabila saat itu Indonesia diproyeksikan menjadi salah satu negara yang di masa depan mampu menjadi ‘Macan Asia’ (Asian Tiger) (Naisbitt, John, Megatrends Asia: Eight Asian Megatrends That Are Reshaping Our World, 1996) serta mendapat sebutan ‘Keajaiban Asia Timur’ (the East Asia Miracle) (World Bank, The making of the East Asia Miracle, World Bank Policy Research Bulletin, Vol. 4, No. 4. August-October 1993).
Krisis Ekonomi 1997-1998 dan Pergantian Rezim Pemerintahan.
Sayangnya, stabilitas politik dan ekonomi Indonesia ternyata tidaklah sekuat yang diperkirakan sebelumnya. Pada saat terjadi krisis ekonomi Asia 1997-1998, Indonesia tidak luput dari hantaman krisis tersebut.
Kejadian itu pada akhirnya memaksa rezim pemerintahan yang telah berkuasa selama lebih kurang 32 tahun untuk lengser. Orde pemerintahan yang disebut ‘Orde Baru’ itupun berganti menjadi ‘Orde Reformasi’, yang ditandai dengan terjadinya kerusuhan massal dan rasial yang menelan banyak korban jiwa di beberapa kota besar di Indonesia.
Awal Periode Reformasi.
Setelah mengalami gejolak dalam negeri akibat krisis ekonomi dan pergantian rezim pemerintahan pada 1998, Indonesia secara pelan membangun perekonomian dan tata kelola pemerintahan yang lebih demokratis. Walau demikian, laporan Perserikatan Bangsa-Bangsa (the United Nations) mencatat beberapa hal penting terkait perkembangan sosial-ekonomi Indonesia pada masa itu.
Laporan tersebut antara lain menyatakan masih banyaknya persoalan ketimpangan dalam hal kesetaraan hak bagi setiap warga negara. Dalam hal ini, isu-isu primordial seperti suku, ras, agama (SARA) berpotensi merusak keharmonisan masyarakat, sehingga mesti mendapatkan perhatian serius dari pemerintah.
Selain itu, PBB mencatat bahwa pada 1993, dari total populasi penduduk Indonesia yang berjumlah sekitar 185 juta jiwa, terdapat 25.9 juta penduduk yang berada dalam kondisi kemiskinan absolut menurut standar internasional. Ketika krisis ekonomi 1997-1998 usai, angka kemiskinan tersebut meningkat hampir dua kali lipat menjadi 49.5 juta jiwa atau sebesar 24.2% dari total populasi saat itu.
Pertumbuhan populasi penduduk yang relatif tinggi juga menjadi salah satu problem utama di sektor kependudukan. Apalagi kebijakan pemerintah masih terfokus pada Pulau Jawa, sebagai pusat pemerintahan, industri, dan perdagangan. Menurut statistik, tercatat lebih dari 57% populasi penduduk Indonesia tinggal di Pulau Jawa.
Permasalahan ini tentu berpotensi memunculkan persoalan-persoalan baru, seperti keseimbangan pembangunan perkotaan dan perdesaan, pembangunan pulau-pulau di luar Pulau Jawa, kesetaraan pendidikan, fasilitas kesehatan, pembangunan infrastruktur jalan, perumahan, dan sebagainya (United Nations, Indonesia: Country Profile, Johannesburg Summit, 2002).
(bersambung)
selanjutnya, Indonesia Membangun: mewujudkan kemandirian ekonomi, menuju poros maritim dunia
ARTIKEL TERKAIT :
Mencermati Situasi Perekonomian Dunia di 2018
Perekonomian Hong Kong: pusat kemajuan ekonomi Asia
Perekonomian Singapura, Simbol Keberhasilan Pembangunan berbasis Pengetahuan dan Teknologi
Melihat Sejarah Gerakan Non Blok (Non-Aligned Movement) dan Relevansinya di Dunia Modern
Tidak ada komentar:
Posting Komentar