Salah satu permasalahan yang terjadi di kota besar-kota besar dunia adalah ketersediaan perumahan (housing supply). Persoalan ini menjadi penting, sebab selain berfungsi sebagai sarana perlindungan dan kenyamanan, rumah juga merupakan pendorong terciptanya berbagai aktivitas perekonomian.
Lebih dari itu, ketersediaan perumahan yang layak huni juga merupakan salah satu tujuan pokok yang tercantum dalam agenda the Sustainable Development Goals (SDGs).
Dalam tulisan ini kita akan melihat beberapa dimensi persoalan terkait dengan ketersediaan perumahan.
Tidak sedikit kota besar di penjuru bumi mengalami problem ketersediaan perumahan, baik karena keterbatasan lahan, keterbatasan kemampuan finansial pemerintah, serta daya beli masyarakat yang tergolong rendah. Persoalan perumahan ini muncul seiring dengan meningkatnya jumlah populasi penduduk kota, baik yang merupakan masyarakat lokal maupun warga pendatang.
Untuk beberapa wilayah seperti Singapura dan Hong Kong, isu tentang perumahan bisa jadi tidak menjadi persoalan penting, mengingat jumlah populasi penduduk yang tinggal di area tersebut tidak terlalu padat. Disamping itu, wilayah-wilayah yang dimaksud juga memiliki infrastruktur modern dan didukung oleh tingginya pendapatan per kapita.
Sementara di negara maju seperti Jepang, persoalan perumahan hingga kini masih menjadi problem krusial. Sebuah studi menyebutkan bahwa akibat keterbatasan lahan yang tersedia, harga lahan kosong yang tersedia di kota besar seperti Tokyo dan Osaka menjadi sangat tinggi, sehingga tidak terjangkau oleh sebagian besar warga kota tersebut (Noguchi, Yukio, Land Prices and House Prices in Japan, National Bureau of Economic Research, January 1994).
Sedangkan di negara-negara berkembang, terbatasnya persediaan perumahan membawa dampak negatif bagi pembangunan ekonomi perkotaan. Dampak negatif tersebut terutama adalah munculnya daerah kumuh (slum area) yang tersebar dibeberapa titik di wilayah perkotaan.
Daerah kumuh ini biasanya merupakan bangunan-bangunan semi permanen dengan kerapatan yang tinggi antar bangunan, dan berada dalam lingkungan yang tidak layak, misalnya dalam satu rumah atau ruangan ditinggali oleh lebih dari tiga orang, akses terhadap air bersih yang tidak tercukupi, minimnya akses sanitasi, serta tidak adanya status hukum atas kepemilikan lahan dan bangunan.
Adanya berbagai persoalan tersebut mendorong pemerintah kota menerapkan berbagai kebijakan untuk menanganinya. Berikut rangkuman berbagai upaya yang dilakukan untuk mengatasi masalah ketersediaan perumahan.
Salah satu alternatif solusi bagi persoalan perumahan di kota besar adalah dengan membangun kompleks perumahan di kota-kota kecil (kota satelit) disekitar wilayah kota utama, sehingga konsentrasi masyarakat bisa tersebar dibanyak area sambil tetap menjaga interkoneksi antar wilayah.
Namun demikian terdapat kendala yang tidak kalah besar, yakni munculnya ego sektoral antar wilayah, apalagi jika secara administratif setiap wilayah memiliki manajemen pemerintahan dan kebijakan yang berbeda.
Alternatif berikutnya yang diterapkan beberapa kota besar dunia adalah dengan mengadopsi bangunan vertikal seperti apartemen. Kelebihan dari bangunan apartemen adalah kemampuannya menampung lebih banyak individu dalam lahan yang terbatas, sedangkan kekurangannya antara lain ruang gerak yang terbatas bagi mereka yang tinggal di apartemen jika dibandingkan dengan rumah diatas tanah (landed house).
Selain itu tidak semua masyarakat mampu membeli unit apartemen, mengingat kemampuan finansial setiap individu yang bervariasi.
Metode selanjutnya yang diterapkan pemerintah kota adalah dengan memberlakukan aturan ketat terhadap pendatang baru, dengan alasan untuk menghindari peningkatan jumlah populasi penduduk kota tersebut. Kebijakan ini selain menimbullkan masalah diskriminasi, juga dinilai tidak efektif dalam menyelesaikan persoalan.
Upaya lain adalah dengan mendorong pihak swasta untuk menyediakan rumah bagi kaum miskin dengan subsidi-subsidi tertentu yang diberikan oleh pemerintah. Namun dalam realita, tak jarang pihak swasta (pengembang) menemukan celah hukum untuk menguntungkan dirinya sendiri, sehingga peruntukan rumah untuk warga miskin menjadi tidak tepat sasaran (United Nations Human Settlements Programme and United Nations Economic and Social Commission for Asia and the Pacific, Housing the poor in Asian Cities, 2008).
Cara lain yang ditawarkan adalah dengan membangun rumah susun sewa bagi penduduk miskin kota, dengan membebankan biaya sewa yang terjangkau serta menyediakan subsidi untuk kebutuhan hidup seperti layanan kesehatan, pendidikan, air dan listrik, dan sebagainya. Upaya ini diyakini mampu memberikan dampak signifikan terhadap perbaikan kualitas kehidupan warga kota, terutama yang masuk dalam kategori miskin.
Lebih lanjut, persoalan perumahan bukan hanya terletak pada ketersediaan perumahan itu sendiri, namun juga permasalahan lain yang melekat, antara lain kendala pada infrastruktur terkait, seperti sarana transportasi, kesehatan, dan pendidikan; kendala lingkungan hidup dan sosial akibat meningkatnya jumlah populasi penduduk kota; kendala keuangan pemerintah kota, terutama dalam pembangunan fisik serta penyediaan subsidi dan fasilitas; serta perubahan pada manajemen pemerintahan dan kebijakan yang diambil.
Sebagai penutup, berbagai persoalan dan upaya-upaya yang disebutkan diatas menggambarkan kompleksitas permasalahan ketersediaan perumahan di kota besar-kota besar dunia. **
ARTIKEL TERKAIT :
Mengenal Konsep Cashless Society
Tinjauan tentang Modal Sosial (Social Capital) serta Kaitannya dengan Ekonomi dan Pembangunan
Konsep dan Masalah Pembangunan Infrastruktur
Pembangunan Wilayah Perkotaan (Urban Development)
Lebih dari itu, ketersediaan perumahan yang layak huni juga merupakan salah satu tujuan pokok yang tercantum dalam agenda the Sustainable Development Goals (SDGs).
Dalam tulisan ini kita akan melihat beberapa dimensi persoalan terkait dengan ketersediaan perumahan.
Tidak sedikit kota besar di penjuru bumi mengalami problem ketersediaan perumahan, baik karena keterbatasan lahan, keterbatasan kemampuan finansial pemerintah, serta daya beli masyarakat yang tergolong rendah. Persoalan perumahan ini muncul seiring dengan meningkatnya jumlah populasi penduduk kota, baik yang merupakan masyarakat lokal maupun warga pendatang.
Untuk beberapa wilayah seperti Singapura dan Hong Kong, isu tentang perumahan bisa jadi tidak menjadi persoalan penting, mengingat jumlah populasi penduduk yang tinggal di area tersebut tidak terlalu padat. Disamping itu, wilayah-wilayah yang dimaksud juga memiliki infrastruktur modern dan didukung oleh tingginya pendapatan per kapita.
Sementara di negara maju seperti Jepang, persoalan perumahan hingga kini masih menjadi problem krusial. Sebuah studi menyebutkan bahwa akibat keterbatasan lahan yang tersedia, harga lahan kosong yang tersedia di kota besar seperti Tokyo dan Osaka menjadi sangat tinggi, sehingga tidak terjangkau oleh sebagian besar warga kota tersebut (Noguchi, Yukio, Land Prices and House Prices in Japan, National Bureau of Economic Research, January 1994).
Sedangkan di negara-negara berkembang, terbatasnya persediaan perumahan membawa dampak negatif bagi pembangunan ekonomi perkotaan. Dampak negatif tersebut terutama adalah munculnya daerah kumuh (slum area) yang tersebar dibeberapa titik di wilayah perkotaan.
Daerah kumuh ini biasanya merupakan bangunan-bangunan semi permanen dengan kerapatan yang tinggi antar bangunan, dan berada dalam lingkungan yang tidak layak, misalnya dalam satu rumah atau ruangan ditinggali oleh lebih dari tiga orang, akses terhadap air bersih yang tidak tercukupi, minimnya akses sanitasi, serta tidak adanya status hukum atas kepemilikan lahan dan bangunan.
Adanya berbagai persoalan tersebut mendorong pemerintah kota menerapkan berbagai kebijakan untuk menanganinya. Berikut rangkuman berbagai upaya yang dilakukan untuk mengatasi masalah ketersediaan perumahan.
Salah satu alternatif solusi bagi persoalan perumahan di kota besar adalah dengan membangun kompleks perumahan di kota-kota kecil (kota satelit) disekitar wilayah kota utama, sehingga konsentrasi masyarakat bisa tersebar dibanyak area sambil tetap menjaga interkoneksi antar wilayah.
Namun demikian terdapat kendala yang tidak kalah besar, yakni munculnya ego sektoral antar wilayah, apalagi jika secara administratif setiap wilayah memiliki manajemen pemerintahan dan kebijakan yang berbeda.
Alternatif berikutnya yang diterapkan beberapa kota besar dunia adalah dengan mengadopsi bangunan vertikal seperti apartemen. Kelebihan dari bangunan apartemen adalah kemampuannya menampung lebih banyak individu dalam lahan yang terbatas, sedangkan kekurangannya antara lain ruang gerak yang terbatas bagi mereka yang tinggal di apartemen jika dibandingkan dengan rumah diatas tanah (landed house).
Selain itu tidak semua masyarakat mampu membeli unit apartemen, mengingat kemampuan finansial setiap individu yang bervariasi.
Metode selanjutnya yang diterapkan pemerintah kota adalah dengan memberlakukan aturan ketat terhadap pendatang baru, dengan alasan untuk menghindari peningkatan jumlah populasi penduduk kota tersebut. Kebijakan ini selain menimbullkan masalah diskriminasi, juga dinilai tidak efektif dalam menyelesaikan persoalan.
Upaya lain adalah dengan mendorong pihak swasta untuk menyediakan rumah bagi kaum miskin dengan subsidi-subsidi tertentu yang diberikan oleh pemerintah. Namun dalam realita, tak jarang pihak swasta (pengembang) menemukan celah hukum untuk menguntungkan dirinya sendiri, sehingga peruntukan rumah untuk warga miskin menjadi tidak tepat sasaran (United Nations Human Settlements Programme and United Nations Economic and Social Commission for Asia and the Pacific, Housing the poor in Asian Cities, 2008).
Cara lain yang ditawarkan adalah dengan membangun rumah susun sewa bagi penduduk miskin kota, dengan membebankan biaya sewa yang terjangkau serta menyediakan subsidi untuk kebutuhan hidup seperti layanan kesehatan, pendidikan, air dan listrik, dan sebagainya. Upaya ini diyakini mampu memberikan dampak signifikan terhadap perbaikan kualitas kehidupan warga kota, terutama yang masuk dalam kategori miskin.
Lebih lanjut, persoalan perumahan bukan hanya terletak pada ketersediaan perumahan itu sendiri, namun juga permasalahan lain yang melekat, antara lain kendala pada infrastruktur terkait, seperti sarana transportasi, kesehatan, dan pendidikan; kendala lingkungan hidup dan sosial akibat meningkatnya jumlah populasi penduduk kota; kendala keuangan pemerintah kota, terutama dalam pembangunan fisik serta penyediaan subsidi dan fasilitas; serta perubahan pada manajemen pemerintahan dan kebijakan yang diambil.
Sebagai penutup, berbagai persoalan dan upaya-upaya yang disebutkan diatas menggambarkan kompleksitas permasalahan ketersediaan perumahan di kota besar-kota besar dunia. **
ARTIKEL TERKAIT :
Mengenal Konsep Cashless Society
Tinjauan tentang Modal Sosial (Social Capital) serta Kaitannya dengan Ekonomi dan Pembangunan
Konsep dan Masalah Pembangunan Infrastruktur
Pembangunan Wilayah Perkotaan (Urban Development)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar