Pada ulasan kali ini, kita akan mempelajari perkembangan perekonomian Jepang, salah satu negara maju di Benua Asia yang memiliki kekuatan ekonomi terbesar ketiga di dunia, serta didukung oleh kemampuan’nya dalam bidang teknologi modern.
Jepang (The State of Japan) atau Nihon-koku merupakan salah satu negara kepulauan yang terletak di kawasan timur Asia, dengan luas wilayah sebesar 377.9 km2.
Negara ini berbentuk kekaisaran (constitutional monarchy), dipimpin oleh seorang kaisar (emperor), dengan pemerintahan dikepalai oleh seorang perdana menteri.
Data Bank Dunia menyebut bahwa total populasi penduduk Jepang sampai dengan akhir 2016 diperkirakan mencapai 126.99 juta jiwa. Dari sisi ekonomi, capaian Gross Domestic Product (GDP US$ current based) Jepang pada 2016 mencapai US$ 4.93 triliun, dan GDP per kapita sebesar US$ 38,000 (data.worldbank.org).
Adapun perkembangan perekonomian Jepang bisa dibagi menjadi beberapa periodisasi.
Era Pasca Perang Dunia Kedua (1945-1949).
Usai perang dunia kedua, perekonomian Jepang mengalami kemerosotan tajam. Kekalahan perang telah membawa dampak negatif, dari kerugian finansial hingga hilangnya nyawa.
Akibat dari kerugian itu tercermin dari angka inflasi yang meroket hingga lebih dari 100%, terjadinya kelangkaan produk konsumsi, serta produktivitas ekonomi yang sangat rendah.
Untuk mengatasi hal tersebut, pemerintah Jepang melakukan beberapa regulasi, antara lain berupa pengawasan langsung terhadap aktivitas produksi, pemantauan terhadap stabilitas harga, serta pemberian subsidi untuk menggerakkan sektor riil. Selain itu, pencetakan uang baru juga dilakukan untuk mendorong transaksi perdagangan pasca perang.
Bisa dikatakan bahwa periode ini merupakan era kekacauan (chaos) dalam perekonomian Jepang (Ohno, Kenichi, The Economic Development of Japan: The Path Traveled by Japan as a Developing Country, GRIPS Development Forum, 2016).
Pada Maret 1949, pemerintah Jepang menerapkan kebijakan ekonomi yang disebut dengan Dodge Line. Kebijakan ini diperkenalkan oleh seorang ekonom asal Amerika Serikat, Joseph Morrell Dodge, yang ditujukan untuk menjaga stabilitas perekonomian Jepang.
Kebijakan tersebut antara lain berupa penyeimbangan anggaran negara untuk mengurangi defisit, pelaksanaan kewajiban perpajakan yang lebih efisien, pengurangan intervensi pemerintah terhadap aktivitas perekonomian, penghentian pinjaman yang tidak tepat sasaran, serta pematokan nilai tukar mata uang Yen Jepang (¥) terhadap US$ diangka ¥ 360 (US$ 1 = ¥ 360).
Era Pertumbuhan Ekonomi Tinggi (1950’an sampai dengan awal 1970’an).
Periode 1950’an hingga awal 1970’an merupakan periode emas perekonomian Jepang, dimana angka pertumbuhan ekonomi rata-rata per tahun mencapai lebih dari 10%. Pada era ini, perekonomian Jepang dikenal dengan istilah ‘miracle economy’.
Setelah pelaksanaan Dodge Line, pemerintah Jepang terus melakukan reformasi dan restrukturisasi di berbagai sektor (diantaranya sektor industri dan pertanian), peningkatan taraf hidup dan hak-hak tenaga kerja, penerapan kebijakan ekonomi yang ekspansif, serta pengembangan teknologi dan industrialisasi untuk menggenjot produktivitas perekonomian (Yoshioka, Shinji, and Hirofumi Kawasaki, Japan’s High-Growth Postwar Period: The Role of Economic Plans, Economic and Social Research Institute Note No. 27, August 2016).
Perkembangan ekonomi Jepang yang didukung oleh kemajuan teknologi dan industrialisasi telah diulas tersendiri dalam artikel Perkembangan Teknologi dan Industrialisasi di Jepang.
Era Oil Shock, Economic Booming, dan Bubble Economy (1970’an hingga akhir 1980’an).
Pada masa 1970’an hingga menjelang akhir 1980’an, perekonomian Jepang mengalami dinamika akibat faktor domestik dan international.
Diawali pada 1971, saat pemerintah Jepang mendevaluasi mata uang ¥ terhadap US$, dari ¥ 360 per US$ (US$ 1 = ¥ 360) yang sudah bertahan selama lebih dari 20 tahun, menjadi ¥ 308 per US$ 1 (US$ 1 = ¥ 308).
Upaya tersebut dilakukan dalam rangka menjaga stabilitas ekonomi dalam negeri. Selang dua tahun kemudian, pada awal 1973, pemerintah Jepang mengadopsi sistem nilai tukar mata uang mengambang (floating exchange-rate system).
Namun demikian di akhir 1973, the Organization of the Petroleum Exporting Countries (OPEC) memutuskan untuk menaikkan harga minyak mentah, dari semula US$ 2 per barrel menjadi US$ 11, serta mengurangi kuota ekspor minyak untuk negara-negara industri sebanyak 10%.
Keputusan ini menyebabkan munculnya ekonomi biaya tinggi (high-cost economy) di Jepang, karena negara tersebut banyak bergantung pada persediaan minyak mentah untuk melakukan pembangunan ekonomi; tercatat lebih dari 90% aktivitas perekonomian Jepang saat itu mengkonsumsi minyak sebagai bahan bakar (energy consuming).
Dampak dari kejadian tersebut tercermin pada pertumbuhan ekonomi Jepang di 1974 yang menunjukkan angka negatif.
Untuk menanggulangi dampak tersebut, pada 1978 pemerintah Jepang mulai menerapkan industri yang berpola energy saving untuk menghemat pengeluaran bahan bakar. Upaya ini mampu menjaga angka inflasi tetap stabil, sambil tetap meningkatkan produktivitas perekonomian.
Sementara akibat ketegangan di kawasan Timur-Tengah (terjadinya Revolusi Iran hingga Perang Teluk) pada 1979, harga minyak mentah dunia kembali naik menjadi US$ 30 per barrel.
Akan tetapi inovasi Jepang dalam menerapkan industri yang menghemat bahan bakar mampu meredam pengaruh negatif kejadian itu pada perekonomian domestik.
Selanjutnya di awal 1980’an, perekonomian Jepang mengalami kemajuan pesat (booming economy), ditandai dengan meningkatnya pertumbuhan konsumsi rumahtangga (household consumption), tingginya laba sektor swasta, semakin banyaknya tenaga kerja terdidik dan terampil (educated and skilled labor), stabil'nya situasi politik dalam negeri, meningkatnya investasi di sektor industri, serta semakin besarnya peran teknologi dan inovasi dalam perekonomian.
Akan tetapi capaian-capaian diatas membuat aktivitas ekonomi menjadi kurang terkontrol, sebagai misal sektor perbankan yang terlalu mudah memberikan kredit (terutama di sektor properti).
Sebagai catatan, pinjaman dengan agunan berupa aset properti diberikan hingga lebih dari 90% dari nilai agunan; secara keseluruhan terdapat lebih dari ¥ 100 triliun pinjaman di sektor properti. Seiring dengan meningkatnya investasi di sektor properti, maka jumlah pinjaman bank juga ikut membengkak.
Akhirnya pada 1989 perekonomian Jepang memasuki fase gelembung ekonomi (bubble economy), dimana harga properti meningkat terlalu tajam, diikuti dengan kenaikan harga saham yang terlampau tinggi (over-valued), serta pembangunan infrastruktur pedesaan yang sangat masif.
Karena anggaran yang digunakan terlalu besar dan tanpa disertai prinsip kehati-hatian (prudence), maka terjadilah bubble economy (Statistic Bureau, Ministry of Internal Affairs and Communications. Statistical Handbook of Japan 2016).
Pecahnya Gelembung Ekonomi (Bubble Burst) dan Dekade Yang Hilang (awal 1990’an hingga awal 2000’an).
Pada periode awal 1990’an hingga awal 2000’an, Jepang mengalami stagnasi perekonomian akibat sistem keuangan yang tidak stabil, serta buruknya kredibilitas sektor perbankan yang memicu terjadinya economic bubble. Hal tersebut ditandai dengan melonjaknya kredit macet perbankan (non-performing loan) di sektor properti dan merosotnya nilai saham hingga 50% di bursa Tokyo Stock Exchange.
Selain itu banyak perusahaan Jepang yang mengalami penurunan kapasitas produksi, peningkatan jumlah utang, serta kelebihan jumlah tenaga kerja. Pecahnya gelembung ekonomi (bubble burst) membawa perekonomian Jepang masuk kedalam resesi yang berkepanjangan.
Untuk men’stabilkan perekonomian, berbagai kebijakan ekonomi diterapkan, misalnya the Bank of Japan (bank sentral Jepang) melakukan pencetakan mata uang untuk mendorong stabilisasi finansial, sementara pemerintah mengambil kebijakan untuk menekan munculnya kredit macet yang lebih besar.
Namun keadaan semakin memburuk akibat terjadinya krisis ekonomi di kawasan Asia pada 1997-1998. Bisa dikatakan bahwa dekade 1990’an merupakan era gelap perekonomian Jepang, atau disebut sebagai sebuah dekade yang hilang (the lost decade) (International Monetary Fund. The Japanese Banking Crisis of the 1990s: Sources and Lessons, IMF Working Paper WP/00/7, January 2000).
Sebuah studi menyatakan bahwa sampai dengan 1995 saja, perbankan di Jepang memiliki tak kurang dari ¥ 70 triliun penyaluran pinjaman yang tidak produktif (bad loans).
Sebagai catatan, perbankan Jepang pada saat itu juga memiliki pinjaman internasional senilai lebih dari US$ 1.61 triliun. Sementara dari 21 bank yang ada ketika itu, 13 diantaranya dinyatakan bangkrut.
Studi juga menjelaskan bahwa kurangnya keterbukaan informasi keuangan (financial disclosure) dan transparansi laporan keuangan, membuat sistem keuangan di Jepang rentan terhadap timbulnya persoalan.
Disamping itu, tidak adanya sistem manajemen risiko (risk management) di sektor perbankan, sistem pengawasan perbankan yang cenderung tertutup, serta kebijakan moneter yang tidak tepat sasasan, diyakini menjadi penyebab awal munculnya bubble economy (Schaede, Ulrike. The 1995 Financial Crisis in Japan, Working Paper, February 1996).
Era Pemulihan Ekonomi dan Kebijakan Abenomics (Three-Arrows Policy) (awal 2000’an hingga saat ini masih berlangsung).
Di masa pemerintahan Perdana Menteri Junichiro Koizumi (2001-2006), pemerintah Jepang melakukan berbagai kebijakan untuk mengatasi persoalan ekonomi, antara lain dengan melakukan reformasi kebijakan makro ekonomi dan restrukturisasi institusi keuangan.
Adapun kebijakan ekonomi yang diambil antara lain dengan menghapus kredit macet, mengurangi defisit anggaran, serta melakukan privatisasi perusahaan negara. Namun demikian utang pemerintah (government debt) pada saat itu masih terlalu besar, mencapai 160% dari total GDP.
Pada 2008, bangkrutnya perusahan sekuritas Lehman Brothers berdampak besar pada pasar keuangan dunia, termasuk Jepang. Ketika perekonomian Amerika Serikat mengalami kontraksi, nilai tukar mata uang US$ melemah; hal tersebut mendorong lesu'nya impor produk dari Jepang.
Pada gilirannya, ini berdampak pada menurunnya laba di sektor perdagangan ekspor Jepang. Disisi lain, karena mata uang ¥ mengalami apresiasi terhadap US$, maka nilai ¥ tidak lagi kompetitif dalam perdagangan internasional.
Ada satu kejadian lagi yang menghambat pemulihan perekonomian Jepang, yakni saat pertengahan Maret 2011 terjadi bencana alam gempa bumi dan tsunami di pantai timur laut Jepang yang disertai dengan bocornya instalasi nuklir.
Pada Januari 2013, Perdana Menteri Jepang Shinzo Abe memperkenalkan kebijakan ekonomi yang disebut dengan Three-Arrows Policy, atau lebih dikenal dengan istilah Abenomics.
Kebijakan tersebut antara lain berupa: kebijakan moneter yang longgar (expansionary monetary-policy), diantaranya melalui pemberian qualitative-quantitative easing; kebijakan fiskal yang fleksibel, diantaranya berupa stimulus fiskal dan penetapan tarif pajak; serta reformasi struktural, misalnya pada kebijakan tentang ketenagakerjaan.
Pemerintah Jepang mengklaim bahwa penerapan kebijakan Abenomics mampu membawa dampak positif, antara lain berupa peningkatan pertumbuhan GDP nominal sekitar ¥ 37 triliun selama periode 2012-2015, serta penurunan angka pengangguran dari 4.3% menjadi 3.1% di periode 2012-2016.
Disamping itu kebijakan Abenomics juga telah dilaksanakan secara efektif, terkait dengan restrukturisasi dan reformasi di sektor energi, kesehatan, serta pertanian.
Pemerintah Jepang juga secara aktif mengembangkan sektor usaha kecil (small-medium enterprises), sektor pariwisata, serta industri jasa (www.japan.go.jp, Abenomics, March 2017).
Perkembangan Terkini Perekonomian Jepang (2017 - ).
Terkait dengan kemudahan mendirikan dan melakukan usaha kecil dan menengah, catatan Bank Dunia menyebut bahwa Jepang menduduki peringkat ke-34 dari 190 negara yang disurvei.
Capaian ini menurun dua peringkat dari tahun sebelumnya; hasil tersebut juga jauh tertinggal dari Hong Kong (peringkat ke-4) dan Korea Selatan (peringkat ke-5) (World Bank, Doing Business 2017, Equal Opportunity for All, Economy Profile 2017: Japan, 2017).
Sementara dalam laporannya, the International Monetary Fund (IMF) memprediksikan pertumbuhan perekonomian Jepang pada 2017 berkisar di angka 1.3%, didukung oleh meningkatnya perdagangan ekspor dan efektivitas kebijakan fiskal dalam negeri.
Namun IMF juga mencermati persoalan penurunan populasi di Jepang yang berpotensi negatif terhadap produktivitas perekonomian (www.imf.org, For Japan’s Economy, Now Is the Time to Step Up Reforms, 31 July 2017).
Lebih lanjut, the Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) menyatakan bahwa sejak diluncurkannya kebijakan Abenomics pada 2013, perekonomian Jepang memperoleh dampak signifikan berupa pertumbuhan ekonomi yang stabil sebesar 1% tiap tahunnya. Sedangkan pada 2017, OECD memproyeksikan pertumbuhan ekonomi Jepang dikisaran 1.4%.
Akan tetapi, permasalahan penduduk yang semakin menurun akan memaksa pemerintah mengeluarkan biaya yang lebih tinggi untuk pemberian stimulus fiskal.
Selain itu, penurunan produktivitas akibat berkurangnya jumlah tenaga kerja juga berpotensi menambah rasio utang pemerintah terhadap GDP, dari 68% di 1992 menjadi 219% di 2016.
OECD juga menekankan agar pemerintah Jepang meluncurkan strategi revitalisasi terkait dengan reformasi perekonomian, diantaranya dengan meningkatkan kinerja pasar keuangan, mempromosikan lingkungan yang mendukung lahirnya kewirausahaan, melakukan reformasi di sektor perpajakan, meningkatkan inovasi teknologi dan sistem robotik, menciptakan kebijakan untuk mendukung sektor pertanian, serta meningkatkan partisipasi perempuan di dunia kerja (the Organisation for Economic Co-operation and Development, Japan Economic Surveys 2017, April 2017).
Catatan-catatan diatas menunjukkan bagaimana dinamika perkembangan perekonomian Jepang sejak usai’nya perang dunia kedua hingga saat ini. Selanjutnya, kita masih akan terus melihat perkembangan perekonomian Jepang di waktu-waktu mendatang. **
UPDATE ARTIKEL (Jumat, 06 Desember 2019):
Menurut data IMF, pertumbuhan ekonomi Jepang pada 2019 diperkirakan mencapai 0.9%, naik dari tahun sebelumnya yang mencapai 0.8%.
Namun demikian pertumbuhan tersebut diproyeksikan menyusut hingga menjadi 0.5% di 2020.
Hal ini diakibatkan adanya pengaruh peningkatan pajak konsumsi yang diberlakukan pada Oktober 2019 (IMF. World Economic Outlook: Global Manufacturing Downturn, Rising Trade Barriers, October 2019).
GDP (curent-price based) Jepang tahun ini mencapai US$ 5.15 triliun, meningkat dari capaian 2018, US$ 4.97 triliun.
Sedangkan GDP per kapita di 2019 sebesar US$ 40.85 ribu, naik dari tahun sebelumnya, US$ 39.3 ribu.
Sementara angka inflasi pada dua tahun terakhir terjaga di level 1.0% (www.imf.org. IMF DataMapper, dikutip pada Jumat, 06 Desember 2019).
Disisi lain, jumlah populasi penduduk Jepang yang tercatat pada 2019 mencapai 126.19 juta jiwa, atau turun dari tahun sebelumnya, 126.5 juta jiwa. Hal ini mengindikasikan bahwa problem penuaan (ageing) yang dialami negara ini masih menjadi masalah serius.
Catatan lain menunjukkan bahwa dari upaya pencegahan dan penanggulangan korupsi, Jepang menempati urutan ke-18 dari 180 negara yang menjadi objek penelitian di 2019. Capaian ini membaik 2 tingkat daripada tahun sebelumnya (Transparency International. Corruption Perceptions Index 2018, 2019).
Untuk daya saing perekonomian, Jepang menduduki peringkat ke-6 secara global dari 141 negara menurut data World Economic Forum, turun 1 tingkat dari capaian 2018 (WEF. Global Competitiveness Report 2019, 2019).
Sementara dalam kemudahan mendirikan dan menjalankan usaha, Bank Dunia menempatkan Jepang di urutan ke-39 dari 190 negara, turun 5 tingkat dari raihan tahun sebelumnya (World Bank. Doing Business 2019: Training for Reform, 2019).
Beberapa sumber lain menyatakan jika salah satu faktor penting yang akan mempengaruhi perekonomian Jepang hingga beberapa tahun kedepan adalah munculnya risiko dari ketegangan hubungan antara Amerika Serikat dengan China.
Hal ini dimungkinkan berimbas negatif pada Jepang, mengingat kedua negara tersebut adalah mitra utama ekonomi negara ini.
Salah satu dampak signifikan berasal dari penurunan di sektor ekspor.
Sementara pendapatan sektor rumahtangga diperkirakan masih akan stabil dalam menunjang konsumsi dalam negeri, meskipun ada kenaikan pajak konsumsi. Hal ini dikarenakan kebijakan pemerintah yang diyakini mampu meredam dampak negatif kenaikan pajak.
Selain itu, diselenggarakannya pesta Olimpiade Musim Panas tahun depan (the 2020 Summer Olympic) diharapkan mampu mendorong aktivitas perekonomian, sekaligus meningkatkan pendapatan dari sektor konsumsi, pariwisata, serta perhotelan (dikutip dari berbagai sumber).
Demikian perkembangan perekonomian Jepang hingga saat ini. Kita akan terus mencermati perkembangan berikutnya. ***
ARTIKEL TERKAIT :
Perkembangan Perekonomian Global 2017: bertumbuh dalam ketidakpastian
Belajar dari Pengelolaan Sampah di Jepang
Perkembangan Ekonomi Asia 2016 dan Prospek Perekonomian Asia 2017
Perekonomian di Sektor Pertanian, Sistem Pertanian di Jepang
Jepang (The State of Japan) atau Nihon-koku merupakan salah satu negara kepulauan yang terletak di kawasan timur Asia, dengan luas wilayah sebesar 377.9 km2.
Negara ini berbentuk kekaisaran (constitutional monarchy), dipimpin oleh seorang kaisar (emperor), dengan pemerintahan dikepalai oleh seorang perdana menteri.
Data Bank Dunia menyebut bahwa total populasi penduduk Jepang sampai dengan akhir 2016 diperkirakan mencapai 126.99 juta jiwa. Dari sisi ekonomi, capaian Gross Domestic Product (GDP US$ current based) Jepang pada 2016 mencapai US$ 4.93 triliun, dan GDP per kapita sebesar US$ 38,000 (data.worldbank.org).
Adapun perkembangan perekonomian Jepang bisa dibagi menjadi beberapa periodisasi.
Era Pasca Perang Dunia Kedua (1945-1949).
Usai perang dunia kedua, perekonomian Jepang mengalami kemerosotan tajam. Kekalahan perang telah membawa dampak negatif, dari kerugian finansial hingga hilangnya nyawa.
Akibat dari kerugian itu tercermin dari angka inflasi yang meroket hingga lebih dari 100%, terjadinya kelangkaan produk konsumsi, serta produktivitas ekonomi yang sangat rendah.
Untuk mengatasi hal tersebut, pemerintah Jepang melakukan beberapa regulasi, antara lain berupa pengawasan langsung terhadap aktivitas produksi, pemantauan terhadap stabilitas harga, serta pemberian subsidi untuk menggerakkan sektor riil. Selain itu, pencetakan uang baru juga dilakukan untuk mendorong transaksi perdagangan pasca perang.
Bisa dikatakan bahwa periode ini merupakan era kekacauan (chaos) dalam perekonomian Jepang (Ohno, Kenichi, The Economic Development of Japan: The Path Traveled by Japan as a Developing Country, GRIPS Development Forum, 2016).
Pada Maret 1949, pemerintah Jepang menerapkan kebijakan ekonomi yang disebut dengan Dodge Line. Kebijakan ini diperkenalkan oleh seorang ekonom asal Amerika Serikat, Joseph Morrell Dodge, yang ditujukan untuk menjaga stabilitas perekonomian Jepang.
Kebijakan tersebut antara lain berupa penyeimbangan anggaran negara untuk mengurangi defisit, pelaksanaan kewajiban perpajakan yang lebih efisien, pengurangan intervensi pemerintah terhadap aktivitas perekonomian, penghentian pinjaman yang tidak tepat sasaran, serta pematokan nilai tukar mata uang Yen Jepang (¥) terhadap US$ diangka ¥ 360 (US$ 1 = ¥ 360).
Era Pertumbuhan Ekonomi Tinggi (1950’an sampai dengan awal 1970’an).
Periode 1950’an hingga awal 1970’an merupakan periode emas perekonomian Jepang, dimana angka pertumbuhan ekonomi rata-rata per tahun mencapai lebih dari 10%. Pada era ini, perekonomian Jepang dikenal dengan istilah ‘miracle economy’.
Setelah pelaksanaan Dodge Line, pemerintah Jepang terus melakukan reformasi dan restrukturisasi di berbagai sektor (diantaranya sektor industri dan pertanian), peningkatan taraf hidup dan hak-hak tenaga kerja, penerapan kebijakan ekonomi yang ekspansif, serta pengembangan teknologi dan industrialisasi untuk menggenjot produktivitas perekonomian (Yoshioka, Shinji, and Hirofumi Kawasaki, Japan’s High-Growth Postwar Period: The Role of Economic Plans, Economic and Social Research Institute Note No. 27, August 2016).
Perkembangan ekonomi Jepang yang didukung oleh kemajuan teknologi dan industrialisasi telah diulas tersendiri dalam artikel Perkembangan Teknologi dan Industrialisasi di Jepang.
Era Oil Shock, Economic Booming, dan Bubble Economy (1970’an hingga akhir 1980’an).
Pada masa 1970’an hingga menjelang akhir 1980’an, perekonomian Jepang mengalami dinamika akibat faktor domestik dan international.
Diawali pada 1971, saat pemerintah Jepang mendevaluasi mata uang ¥ terhadap US$, dari ¥ 360 per US$ (US$ 1 = ¥ 360) yang sudah bertahan selama lebih dari 20 tahun, menjadi ¥ 308 per US$ 1 (US$ 1 = ¥ 308).
Upaya tersebut dilakukan dalam rangka menjaga stabilitas ekonomi dalam negeri. Selang dua tahun kemudian, pada awal 1973, pemerintah Jepang mengadopsi sistem nilai tukar mata uang mengambang (floating exchange-rate system).
Namun demikian di akhir 1973, the Organization of the Petroleum Exporting Countries (OPEC) memutuskan untuk menaikkan harga minyak mentah, dari semula US$ 2 per barrel menjadi US$ 11, serta mengurangi kuota ekspor minyak untuk negara-negara industri sebanyak 10%.
Keputusan ini menyebabkan munculnya ekonomi biaya tinggi (high-cost economy) di Jepang, karena negara tersebut banyak bergantung pada persediaan minyak mentah untuk melakukan pembangunan ekonomi; tercatat lebih dari 90% aktivitas perekonomian Jepang saat itu mengkonsumsi minyak sebagai bahan bakar (energy consuming).
Dampak dari kejadian tersebut tercermin pada pertumbuhan ekonomi Jepang di 1974 yang menunjukkan angka negatif.
Untuk menanggulangi dampak tersebut, pada 1978 pemerintah Jepang mulai menerapkan industri yang berpola energy saving untuk menghemat pengeluaran bahan bakar. Upaya ini mampu menjaga angka inflasi tetap stabil, sambil tetap meningkatkan produktivitas perekonomian.
Sementara akibat ketegangan di kawasan Timur-Tengah (terjadinya Revolusi Iran hingga Perang Teluk) pada 1979, harga minyak mentah dunia kembali naik menjadi US$ 30 per barrel.
Akan tetapi inovasi Jepang dalam menerapkan industri yang menghemat bahan bakar mampu meredam pengaruh negatif kejadian itu pada perekonomian domestik.
Selanjutnya di awal 1980’an, perekonomian Jepang mengalami kemajuan pesat (booming economy), ditandai dengan meningkatnya pertumbuhan konsumsi rumahtangga (household consumption), tingginya laba sektor swasta, semakin banyaknya tenaga kerja terdidik dan terampil (educated and skilled labor), stabil'nya situasi politik dalam negeri, meningkatnya investasi di sektor industri, serta semakin besarnya peran teknologi dan inovasi dalam perekonomian.
Akan tetapi capaian-capaian diatas membuat aktivitas ekonomi menjadi kurang terkontrol, sebagai misal sektor perbankan yang terlalu mudah memberikan kredit (terutama di sektor properti).
Sebagai catatan, pinjaman dengan agunan berupa aset properti diberikan hingga lebih dari 90% dari nilai agunan; secara keseluruhan terdapat lebih dari ¥ 100 triliun pinjaman di sektor properti. Seiring dengan meningkatnya investasi di sektor properti, maka jumlah pinjaman bank juga ikut membengkak.
Akhirnya pada 1989 perekonomian Jepang memasuki fase gelembung ekonomi (bubble economy), dimana harga properti meningkat terlalu tajam, diikuti dengan kenaikan harga saham yang terlampau tinggi (over-valued), serta pembangunan infrastruktur pedesaan yang sangat masif.
Karena anggaran yang digunakan terlalu besar dan tanpa disertai prinsip kehati-hatian (prudence), maka terjadilah bubble economy (Statistic Bureau, Ministry of Internal Affairs and Communications. Statistical Handbook of Japan 2016).
Pecahnya Gelembung Ekonomi (Bubble Burst) dan Dekade Yang Hilang (awal 1990’an hingga awal 2000’an).
Pada periode awal 1990’an hingga awal 2000’an, Jepang mengalami stagnasi perekonomian akibat sistem keuangan yang tidak stabil, serta buruknya kredibilitas sektor perbankan yang memicu terjadinya economic bubble. Hal tersebut ditandai dengan melonjaknya kredit macet perbankan (non-performing loan) di sektor properti dan merosotnya nilai saham hingga 50% di bursa Tokyo Stock Exchange.
Selain itu banyak perusahaan Jepang yang mengalami penurunan kapasitas produksi, peningkatan jumlah utang, serta kelebihan jumlah tenaga kerja. Pecahnya gelembung ekonomi (bubble burst) membawa perekonomian Jepang masuk kedalam resesi yang berkepanjangan.
Untuk men’stabilkan perekonomian, berbagai kebijakan ekonomi diterapkan, misalnya the Bank of Japan (bank sentral Jepang) melakukan pencetakan mata uang untuk mendorong stabilisasi finansial, sementara pemerintah mengambil kebijakan untuk menekan munculnya kredit macet yang lebih besar.
Namun keadaan semakin memburuk akibat terjadinya krisis ekonomi di kawasan Asia pada 1997-1998. Bisa dikatakan bahwa dekade 1990’an merupakan era gelap perekonomian Jepang, atau disebut sebagai sebuah dekade yang hilang (the lost decade) (International Monetary Fund. The Japanese Banking Crisis of the 1990s: Sources and Lessons, IMF Working Paper WP/00/7, January 2000).
Sebuah studi menyatakan bahwa sampai dengan 1995 saja, perbankan di Jepang memiliki tak kurang dari ¥ 70 triliun penyaluran pinjaman yang tidak produktif (bad loans).
Sebagai catatan, perbankan Jepang pada saat itu juga memiliki pinjaman internasional senilai lebih dari US$ 1.61 triliun. Sementara dari 21 bank yang ada ketika itu, 13 diantaranya dinyatakan bangkrut.
Studi juga menjelaskan bahwa kurangnya keterbukaan informasi keuangan (financial disclosure) dan transparansi laporan keuangan, membuat sistem keuangan di Jepang rentan terhadap timbulnya persoalan.
Disamping itu, tidak adanya sistem manajemen risiko (risk management) di sektor perbankan, sistem pengawasan perbankan yang cenderung tertutup, serta kebijakan moneter yang tidak tepat sasasan, diyakini menjadi penyebab awal munculnya bubble economy (Schaede, Ulrike. The 1995 Financial Crisis in Japan, Working Paper, February 1996).
Era Pemulihan Ekonomi dan Kebijakan Abenomics (Three-Arrows Policy) (awal 2000’an hingga saat ini masih berlangsung).
Di masa pemerintahan Perdana Menteri Junichiro Koizumi (2001-2006), pemerintah Jepang melakukan berbagai kebijakan untuk mengatasi persoalan ekonomi, antara lain dengan melakukan reformasi kebijakan makro ekonomi dan restrukturisasi institusi keuangan.
Adapun kebijakan ekonomi yang diambil antara lain dengan menghapus kredit macet, mengurangi defisit anggaran, serta melakukan privatisasi perusahaan negara. Namun demikian utang pemerintah (government debt) pada saat itu masih terlalu besar, mencapai 160% dari total GDP.
Pada 2008, bangkrutnya perusahan sekuritas Lehman Brothers berdampak besar pada pasar keuangan dunia, termasuk Jepang. Ketika perekonomian Amerika Serikat mengalami kontraksi, nilai tukar mata uang US$ melemah; hal tersebut mendorong lesu'nya impor produk dari Jepang.
Pada gilirannya, ini berdampak pada menurunnya laba di sektor perdagangan ekspor Jepang. Disisi lain, karena mata uang ¥ mengalami apresiasi terhadap US$, maka nilai ¥ tidak lagi kompetitif dalam perdagangan internasional.
Ada satu kejadian lagi yang menghambat pemulihan perekonomian Jepang, yakni saat pertengahan Maret 2011 terjadi bencana alam gempa bumi dan tsunami di pantai timur laut Jepang yang disertai dengan bocornya instalasi nuklir.
Pada Januari 2013, Perdana Menteri Jepang Shinzo Abe memperkenalkan kebijakan ekonomi yang disebut dengan Three-Arrows Policy, atau lebih dikenal dengan istilah Abenomics.
Kebijakan tersebut antara lain berupa: kebijakan moneter yang longgar (expansionary monetary-policy), diantaranya melalui pemberian qualitative-quantitative easing; kebijakan fiskal yang fleksibel, diantaranya berupa stimulus fiskal dan penetapan tarif pajak; serta reformasi struktural, misalnya pada kebijakan tentang ketenagakerjaan.
Pemerintah Jepang mengklaim bahwa penerapan kebijakan Abenomics mampu membawa dampak positif, antara lain berupa peningkatan pertumbuhan GDP nominal sekitar ¥ 37 triliun selama periode 2012-2015, serta penurunan angka pengangguran dari 4.3% menjadi 3.1% di periode 2012-2016.
Disamping itu kebijakan Abenomics juga telah dilaksanakan secara efektif, terkait dengan restrukturisasi dan reformasi di sektor energi, kesehatan, serta pertanian.
Pemerintah Jepang juga secara aktif mengembangkan sektor usaha kecil (small-medium enterprises), sektor pariwisata, serta industri jasa (www.japan.go.jp, Abenomics, March 2017).
Perkembangan Terkini Perekonomian Jepang (2017 - ).
Terkait dengan kemudahan mendirikan dan melakukan usaha kecil dan menengah, catatan Bank Dunia menyebut bahwa Jepang menduduki peringkat ke-34 dari 190 negara yang disurvei.
Capaian ini menurun dua peringkat dari tahun sebelumnya; hasil tersebut juga jauh tertinggal dari Hong Kong (peringkat ke-4) dan Korea Selatan (peringkat ke-5) (World Bank, Doing Business 2017, Equal Opportunity for All, Economy Profile 2017: Japan, 2017).
Sementara dalam laporannya, the International Monetary Fund (IMF) memprediksikan pertumbuhan perekonomian Jepang pada 2017 berkisar di angka 1.3%, didukung oleh meningkatnya perdagangan ekspor dan efektivitas kebijakan fiskal dalam negeri.
Namun IMF juga mencermati persoalan penurunan populasi di Jepang yang berpotensi negatif terhadap produktivitas perekonomian (www.imf.org, For Japan’s Economy, Now Is the Time to Step Up Reforms, 31 July 2017).
Lebih lanjut, the Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) menyatakan bahwa sejak diluncurkannya kebijakan Abenomics pada 2013, perekonomian Jepang memperoleh dampak signifikan berupa pertumbuhan ekonomi yang stabil sebesar 1% tiap tahunnya. Sedangkan pada 2017, OECD memproyeksikan pertumbuhan ekonomi Jepang dikisaran 1.4%.
Akan tetapi, permasalahan penduduk yang semakin menurun akan memaksa pemerintah mengeluarkan biaya yang lebih tinggi untuk pemberian stimulus fiskal.
Selain itu, penurunan produktivitas akibat berkurangnya jumlah tenaga kerja juga berpotensi menambah rasio utang pemerintah terhadap GDP, dari 68% di 1992 menjadi 219% di 2016.
OECD juga menekankan agar pemerintah Jepang meluncurkan strategi revitalisasi terkait dengan reformasi perekonomian, diantaranya dengan meningkatkan kinerja pasar keuangan, mempromosikan lingkungan yang mendukung lahirnya kewirausahaan, melakukan reformasi di sektor perpajakan, meningkatkan inovasi teknologi dan sistem robotik, menciptakan kebijakan untuk mendukung sektor pertanian, serta meningkatkan partisipasi perempuan di dunia kerja (the Organisation for Economic Co-operation and Development, Japan Economic Surveys 2017, April 2017).
Catatan-catatan diatas menunjukkan bagaimana dinamika perkembangan perekonomian Jepang sejak usai’nya perang dunia kedua hingga saat ini. Selanjutnya, kita masih akan terus melihat perkembangan perekonomian Jepang di waktu-waktu mendatang. **
UPDATE ARTIKEL (Jumat, 06 Desember 2019):
Menurut data IMF, pertumbuhan ekonomi Jepang pada 2019 diperkirakan mencapai 0.9%, naik dari tahun sebelumnya yang mencapai 0.8%.
Namun demikian pertumbuhan tersebut diproyeksikan menyusut hingga menjadi 0.5% di 2020.
Hal ini diakibatkan adanya pengaruh peningkatan pajak konsumsi yang diberlakukan pada Oktober 2019 (IMF. World Economic Outlook: Global Manufacturing Downturn, Rising Trade Barriers, October 2019).
GDP (curent-price based) Jepang tahun ini mencapai US$ 5.15 triliun, meningkat dari capaian 2018, US$ 4.97 triliun.
Sedangkan GDP per kapita di 2019 sebesar US$ 40.85 ribu, naik dari tahun sebelumnya, US$ 39.3 ribu.
Sementara angka inflasi pada dua tahun terakhir terjaga di level 1.0% (www.imf.org. IMF DataMapper, dikutip pada Jumat, 06 Desember 2019).
Disisi lain, jumlah populasi penduduk Jepang yang tercatat pada 2019 mencapai 126.19 juta jiwa, atau turun dari tahun sebelumnya, 126.5 juta jiwa. Hal ini mengindikasikan bahwa problem penuaan (ageing) yang dialami negara ini masih menjadi masalah serius.
Catatan lain menunjukkan bahwa dari upaya pencegahan dan penanggulangan korupsi, Jepang menempati urutan ke-18 dari 180 negara yang menjadi objek penelitian di 2019. Capaian ini membaik 2 tingkat daripada tahun sebelumnya (Transparency International. Corruption Perceptions Index 2018, 2019).
Untuk daya saing perekonomian, Jepang menduduki peringkat ke-6 secara global dari 141 negara menurut data World Economic Forum, turun 1 tingkat dari capaian 2018 (WEF. Global Competitiveness Report 2019, 2019).
Sementara dalam kemudahan mendirikan dan menjalankan usaha, Bank Dunia menempatkan Jepang di urutan ke-39 dari 190 negara, turun 5 tingkat dari raihan tahun sebelumnya (World Bank. Doing Business 2019: Training for Reform, 2019).
Beberapa sumber lain menyatakan jika salah satu faktor penting yang akan mempengaruhi perekonomian Jepang hingga beberapa tahun kedepan adalah munculnya risiko dari ketegangan hubungan antara Amerika Serikat dengan China.
Hal ini dimungkinkan berimbas negatif pada Jepang, mengingat kedua negara tersebut adalah mitra utama ekonomi negara ini.
Salah satu dampak signifikan berasal dari penurunan di sektor ekspor.
Sementara pendapatan sektor rumahtangga diperkirakan masih akan stabil dalam menunjang konsumsi dalam negeri, meskipun ada kenaikan pajak konsumsi. Hal ini dikarenakan kebijakan pemerintah yang diyakini mampu meredam dampak negatif kenaikan pajak.
Selain itu, diselenggarakannya pesta Olimpiade Musim Panas tahun depan (the 2020 Summer Olympic) diharapkan mampu mendorong aktivitas perekonomian, sekaligus meningkatkan pendapatan dari sektor konsumsi, pariwisata, serta perhotelan (dikutip dari berbagai sumber).
Demikian perkembangan perekonomian Jepang hingga saat ini. Kita akan terus mencermati perkembangan berikutnya. ***
ARTIKEL TERKAIT :
Perkembangan Perekonomian Global 2017: bertumbuh dalam ketidakpastian
Belajar dari Pengelolaan Sampah di Jepang
Perkembangan Ekonomi Asia 2016 dan Prospek Perekonomian Asia 2017
Perekonomian di Sektor Pertanian, Sistem Pertanian di Jepang
Tidak ada komentar:
Posting Komentar