Namun demikian, kita juga menyaksikan menjamurnya puluhan industri ritel berbasis online. Lantas, fenomena apa yang sesungguhnya terjadi dibalik dua hal bertentangan diatas? Di artikel ini kita akan mempelajari seperti apa perkembangan industri ritel saat ini.
Ibarat pepatah mengatakan bahwa “segala sesuatu memiliki masa’nya sendiri-sendiri”, demikian juga yang terjadi pada industri ritel.
Jika pada dua dekade lalu, konsumen belum puas jika belum mencoba atau merasakan sendiri produk yang akan mereka beli, saat ini dengan hanya melihat foto/gambar produk melalui layar laptop atau smartphone, mereka bisa terdorong untuk membeli produk tersebut.
Inilah era dimana aktivitas berbelanja mengalami pergeseran; istilah go shopping bukan lagi ‘pergi’ ke tempat belanja, melainkan cukup dengan memainkan jari tangan di perangkat mobile yang kita miliki. Era baru ini, disebut sebagai era digitalisasi (digitalization era).
Laporan the Global Retail Development Index pada 2017 secara jelas memperlihatkan bagaimana perkembangan sektor ritel di 30 negara. Kita akan melihat hasil penelitian di tiga negara kawasan Asia, yakni China, Malaysia, dan Indonesia.
Industri Ritel di China.
China merupakan salah satu negara dengan industri ritel yang perkembangannya tergolong pesat. Industri ritel di negara tersebut mencatatkan nilai penjualan sebesar US$ 3.13 triliun pada 2016, atau menduduki peringkat ke-2 dibawah India.
Secara persentase, pertumbuhan penjualan ritel di tahun tersebut mencapai angka 10.4%, jauh lebih tinggi daripada pertumbuhan GDP China yang berada dikisaran 6.7%.
Adapun faktor yang mendorong tingginya penjualan adalah meningkatnya disposable income (pendapatan yang bisa dibelanjakan) yang diperoleh kelompok masyarakat berpendapatan menengah keatas, yang sekaligus menjadi konsumen terbesar produk-produk ritel.
Lebih jauh, masyarakat berpenghasilan menengah keatas semakin sadar (aware) akan produk-produk yang memiliki nilai tambah untuk dikonsumsi, misalnya produk bernutrisi (vitamin, minuman/makanan kesehatan, dan sebagainya), serta pemenuhan gaya hidup dan kesehatan (busana, alat kesehatan, alat kecantikan, dan lain-lain). Kesadaran itulah yang mendorong peningkatan penjualan produk ritel secara pesat.
Selain itu, beberapa industri ritel besar di China telah merambah ke sistem penjualan online (online sale) dan berekspansi ke negara lain. Alibaba merupakan salah satu contoh keberhasilan industri ritel yang beradaptasi dengan baik terhadap perubahan tren. Nilai transaksi penjualan Alibaba bahkan mengungguli total transaksi dua raksasa ritel dunia yang sudah ada sebelumnya, yakni Amazon dan eBay.
Kenyataan ini membuat industri ritel yang tidak tanggap dengan perubahan harus menutup usahanya atau bahkan gulung-tikar. Tercatat merk-merk besar seperti Louis Vuitton, Gucci, dan Hugo Boss harus menutup sejumlah gerai toko mereka karena sepi pembeli.
Industri Ritel di Malaysia.
Malaysia berada di urutan ke-3 dengan total penjualan ritel sebesar US$ 92 miliar di 2016, atau mencatatkan pertumbuhan sebesar 3.8%. Meski hanya berpenduduk sekitar 31 juta jiwa dan memiliki wilayah negara yang tidak terlalu luas, namun Malaysia mempunyai keunggulan berupa lingkungan bisnis yang ramah, akses yang mudah pada sektor finansial, serta sarana transportasi yang mendukung.
Menurut Bank Dunia, Malaysia menempati peringkat ke-24 dalam hal kemudahan mendirikan dan mengembangkan usaha diantara 190 negara. Predikat ini juga merupakan urutan terbaik ke-2 setelah Singapura, apabila dibandingkan dengan negara-negara ASEAN lainnya (World Bank, Doing Business 2018: Reforming to Create Jobs).
Pangsa pasar untuk ritel tradisional maupun modern (hypermarkets) di negara ini sama-sama berkembang secara kondusif. Investor asing pun turut berperan dalam meningkatkan pertumbuhan sektor ritel di Malaysia, diantaranya dari Jepang, Korea Selatan, dan China. Beberapa ritel yang berkembang pesat adalah 7-Eleven yang membuka lebih dari 200 gerai baru; kemudian AEON yang juga menambah tiga kali lipat jumlah gerainya di Malaysia.
Industri Ritel di Indonesia.
Indonesia menempati urutan ke-8 atau turun tiga tingkat dari tahun sebelumnya. Nilai penjualan ritel pada 2016 berada di angka US$ 350 miliar. Indonesia, dengan populasi lebih dari 250 juta jiwa dan wilayah yang begitu luas, sebenarnya menjadi pasar potensial bagi industri ritel, baik dari sisi investasi maupun konsumsi.
Namun rumitnya peraturan, kurang kompetitifnya tarif pajak, serta berbagai hambatan lain, membuat para investor enggan menanamkan modalnya di negara ini.
Kemudian jika dilihat dari kemudahan mendirikan dan menjalankan usaha, Indonesia menempati urutan ke-72, jauh tertinggal dibawah Singapura (2), Malaysia (24), Thailand (26), dan Brunei Darussalam (56) (World Bank, Doing Business 2018: Reforming to Create Jobs).
Maka tidak mengherankan apabila saat ini pemerintah Indonesia (pada masa kepemimpinan Presiden Joko Widodo) menerapkan berbagai kebijakan yang mendorong masuknya investasi internasional, antara lain melalui penyederhanaan aturan, pembangunan infrastruktur antar propinsi-antar pulau, perbaikan sarana transportasi dan pembangkit tenaga listrik, serta kebijakan strategis lainnya.
Pemerintah Indonesia juga menggalakkan konsep e-commerce sebagai salah satu motor untuk meningkatkan aktivitas perekonomian nasional, serta mendukung entrepreneur muda untuk mengembangkan usaha berbasis kreativitas.
(AT Kearney, The 2017 Global Retail Development Index: The Age of Focus).
Lebih lanjut, studi mengungkapkan bahwa secara rata-rata, seseorang melihat perangkat mobile-nya selama 85 kali dalam sehari, serta menghabiskan sekitar lima jam untuk mengakses internet dan/atau mobile app.
Yang menarik untuk dicermati adalah kegiatan berbelanja secara online bukan lagi sekedar aktivitas untuk memenuhi kebutuhan atau keinginan, melainkan juga menjadi sebuah pengalaman serta petualangan yang dianggap seru dan menyenangkan.
Menyadari hal tersebut, maka pelaku industri ritel dituntut untuk selalu menciptakan value bagi para pelanggannya, sehingga mampu sustain dalam jangka panjang. Value ini meliputi pemenuhan hak konsumen, baik terkait dengan kualitas produk yang ditawarkan, harga produk, serta layanan lainnya.
Apabila dirangkum secara sederhana, terdapat beberapa faktor penting yang harus diperhatikan industri ritel agar mampu bersaing di era digitalisasi, diantaranya:
- Perkembangan teknologi telah mengubah perilaku dan pengalaman konsumen.
- Model online shopping yang memanfaatkan perangkat teknologi, seperti smartphones, tablet, dan laptop semakin berkembang pesat. Hal tersebut juga didukung oleh cepatnya akses internet dan tersedianya mobile application yang memudahkan konsumen mengakses situs penjualan online.
- Konsumen bisa membandingkan produk yang ingin dibeli (dari segi harga maupun kualitas) dengan tetap berada didepan perangkat teknologi mereka; dengan demikian menghasilkan efisiensi waktu dan biaya.
- Pengalaman berbelanja di satu situs online menjadi rujukan bagi konsumen untuk memilih tempat belanja favoritnya. Ini sekaligus menjadi tantangan bagi industri ritel untuk selalu memberikan layanan terbaik kepada pelanggannya.
- Pelaku industri ritel mesti pandai-pandai menarik minat konsumen, baik melalui tampilan situs (user interface) yang menarik dan mudah diakses, pengenaan harga produk yang kompetitif, layanan keluhan dan purna jual, serta penghargaan kepada konsumen loyal.
Demikian beberapa catatan tentang bagaimana era digitalisasi telah mengubah tren, termasuk dalam hal berbelanja; dan hanya melalui kemampuan beradaptasi dengan perubahan itulah, industri ritel akan tetap memiliki tempat di hati konsumen. **
ARTIKEL TERKAIT :
Digital Economy: ketika perekonomian dan perdagangan berada dalam jentikan jari
Mengenal Konsep Cashless Society
Creative-based Economy, Kekuatan Ide yang Bernilai Tinggi
Knowledge-based Economy (KBE), Pondasi Utama Perekonomian Modern
Tidak ada komentar:
Posting Komentar