Selain faktor alam, kelalaian manusia dan tata kelola yang buruk dari sebuah sistem bisa mengakibatkan bencana yang merenggut banyak jiwa; salah satu contohnya adalah tragedi yang terjadi di Bhopal, India, lebih dari dua dasarwarsa silam.
Pada artikel ini, kita akan melihat kembali tragedi kebocoran gas beracun dari sebuah pabrik pestisida di Bhopal, India.
Tulisan ini menitikberatkan pembahasan pada dampak lingkungan dari tragedi tersebut.
Jauh sebelum peristiwa itu terjadi, sektor pertanian India mengalami kemerosotan selama beberapa dekade, akibat kekeringan dan banyaknya hama yang merusak tanaman pangan. Hal ini mengakibatkan menurunnya produksi pangan.
Untuk menanggulanginya, pemerintah India menerapkan strategi yang dikenal dengan istilah The Green Revolution, dimaksudkan untuk meningkatkan produktivitas sektor pertanian melalui irigasi (irrigation), pemupupan (fertilizers), serta pemberantasan hama (pesticide).
Salah satu langkah diwujudkan melalui dikembangkannya pabrik pestisida, Union Carbide India Limited (UCIL), di kota Bhopal, India.
UCIL sendiri sebenarnya merupakan anak perusahaan dari Union Carbide (UCC), sebuah perusahaan berbasis Amerika Serikat yang memproduksi baterai, lampu hias jalan, serta pelindung lampu mobil. Perusahaan ini memiliki 130 anak perusahaan di 40 negara.
Di India, UCIL memproduksi material kimiawi untuk keperluan industri, seperti nitrogen, oksigen, metana, serta propana, yang digunakan sebagai bahan bakar. UCIL juga memproduksi bahan kimia yang digunakan untuk membuat pupuk tanaman, seperti amonia dan urea.
Salah satu materi kimia yang digunakan untuk membuat produk pemberantas hama tanaman disebut methyl isocyanate (MIC). Dalam ilmu kimia, zat ini merupakan salah satu substansi yang sangat berbahaya dan beracun.
Oleh karena itu, materi tersebut disimpan dalam ruang dengan suhu mendekati not derajat.
Tragedi Bhopal sendiri terjadi menjelang tengah malam pada 2 Desember 1984, saat gas beracun menyembur dari pabrik UCIL dan menyebar ke penjuru kota yang saat itu dihuni lebih dari 900 ribu jiwa.
Laporan menyebutkan setidaknya terdapat 10 ribu orang meninggal dunia dan lebih dari 50 ribu lainnya mengalami gangguan kesehatan parah (ICFAI. The Bhopal Gas Tragedy, 2002).
Banyaknya korban yang berjatuhan antara lain dipicu tidak adanya peringatan darurat dari pabrik ketika terjadi kebocoran gas.
Hal ini diperparah dengan lokasi pabrik yang terletak tak jauh dari pemukiman penduduk.
Belakangan diketahui bahwa jauh sebelum tragedi tersebut, sudah pernah ada kecelakaan di pabrik yang memakan korban jiwa dari beberapa pekerja.
Diketahui pula bahwa pada saat itu, perusahaan sedang melakukan efisiensi biaya karena produksi yang tidak memenuhi target.
Efisiensi dilakukan melalui pengurangan tenaga kerja profesional dan tenaga ahli, seperti pemangkasan jumlah personel penanggungjawab perawatan pabrik, serta pengurangan masa pelatihan keamanan bagi tenaga kerja, yang sebelumnya 6 bulan menjadi 15 hari.
Penelitian lain menyatakan jika pabrik tersebut tidak layak operasi karena melanggar aturan keselamatan.
Disebutkan bahwa pabrik itu memiliki tiga tangki yang masing-masing berkapasitas 15 ribu galon.
Jika pada umumnya, harus ada satu tangki yang dibiarkan kosong untuk berjaga-jaga jika ada kondisi darurat, namun pabrik tersebut mengisi semua tangki dengan MIC.
Selain itu, seharusnya bahan kimia MIC tidak boleh diisi lebih dari setengah kapasitas yang ada, namun pada kenyataannya pabrik mengisi hingga lebih dari 80% kapasitas tangki.
MIC juga tidak boleh disimpan terlalu lama dalam jumlah besar, karena zat ini tergolong tidak stabil dan sangat berbahaya. Aturan ini diyakini juga diabaikan oleh pabrik.
Disamping itu, pada saat kejadian sistem keamanan darurat sedang tidak berfungsi, sementara perawatan rutin tidak dilakukan secara profesional. Studi mencatat jika beberapa tenaga kerja dibidang perawatan hanya lulusan sekolah menengah.
Hal ini diperparah dengan sirine gawat-darurat yang baru menyala dua jama setelah kejadian. Akibatnya, penduduk kota yang sebagian besar masih tertidur tidak menyadari bahwa mereka telah menghisap gas beracun.
Tidak adanya informasi darurat ini menimbulkan kepanikan warga kota yang bergegas meninggalkan rumah untuk mencari tempat aman. Akan tetapi justru kepanikan itulah yang memperbesar jumlah korban jiwa, karena banyaknya gas beracun yang terhirup.
Diperkirakan sekitar 3 ribu orang kehilangan nyawa tak lama setelah kejadian, kemudian disusul 4 ribu orang yang meninggal beberapa hari berikutnya, dan sekitar 15 ribu jiwa lagi di bulan-bulan berikutnya.
Selain itu terdapat lebih dari 150 ribu orang terkena dampak langsung gas beracun tersebut, terutama pada bagian penglihatan, sistem syaraf, serta pernapasan.
Disamping korban manusia, gas beracun juga membunuh ribuan ternak, seperti sapi, kambing, dan kerbau.
Sementara sumber air tanah di wilayah tersebut juga terkontaminasi zat beracun, sehingga sangat berbahaya untuk dikonsumsi (Varma, Roli, and Varma, Daya R. The Bhopal Disaster of 1984, Bulletin of Science, Technoloy & Science, February, 2005).
Banyak studi lintas ilmu dilakukan untuk mempelajari setiap aspek dari tragedi gas beracun yang terjadi di Bhopal, India; namun satu hal yang pasti, kelalaian dan kesalahan dalam mengelola sebuah sistem bisa mengakibatkan bencana yang fatal bagi lingkungan hidup. **
ARTIKEL TERKAIT :
Warisan Sampah Plastik Dunia
Perekonomian India, dari demonetisasi hingga partisipasi perempuan dalam dunia kerja
Mengenang Tragedi Minamata, ketika aktivitas perekonomian mengabaikan faktor lingkungan
Saat Pencemaran Udara Mempengaruhi Kehidupan Manusia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar