Salah satu masalah lingkungan terbesar yang terjadi saat ini adalah semakin menumpuknya sampah plastik yang memenuhi planet Bumi, baik di daratan maupun lautan. Sedemikian seriusnya, sehingga banyak negara maupun organisasi internasional yang menaruh perhatian khusus pada persoalan ini. Dalam tulisan ini kita akan melihat sejauh mana problem sampah plastik di dunia.
Studi menyatakan jika sampah rumahtangga (municipal solid waste) dari 194 negara yang menjadi objek penelitian, bisa mencapai 2.1 ton setiap tahunnya.
Dari angka tersebut, hanya sekitar 16% atau 323 juta ton yang mengalami proses daur ulang, sementara lebih dari 45% atau sekitar 950 juta ton sampah tidak terkelola dengan baik.
Adapun lima negara dengan penghasil sampah rumahtangga terbesar di dunia adalah China (lebih dari 15%), Amerika Serikat (11%), India (12%), Brazil (4%), dan Indonesia (3%) (Verisk Maplecroft. Waste Generation and Recycling Indices 2019: Overview and findings, June 2019).
Sementara penelitian lain menyebutkan jika secara global terdapat sekitar 8-12 juta ton sampah plastik yang memenuhi lautan setiap tahunnya.
Ironisnya, sekitar 50-70% sampah tersebut berasal dari sampah plastik rumahtangga yang berasal dari negara-negara berkembang. Sampah plastik ini terakumulasi diberbagai wilayah perairan dunia dan mencemari kehidupan biota laut.
Pencemaran sampah plastik juga berdampak besar pada perubahan iklim bumi. Catatan menunjukkan jika produksi plastik secara global mengeluarkan tak kurang dari 400 juta ton gas buang setiap tahunnya.
Disamping itu, apabila pertumbuhan produksi plastik terus meningkat, diperkirakan pada 2050 nanti industri plastik akan menghabiskan sekitar 20% konsumsi minyak bumi.
Selain pencemaran dari gas buang, produk plastik sendiri akan menjadi sampah padat yang tidak bisa terurai dalam lingkungan, yang memicu munculnya gas karbondioksida (CO2).
Pada 2016 misalnya, gas CO2 yang timbul akibat sampah produk plastik mencapai 1.6 miliar ton, dan akan terus meningkat hingga 2.6 miliar ton di 2050 (Tearfund, Fauna & Flora International, and WasteAid and The Institute of Development Studies. No Time To Waste: Tackling the plastic pollution crisis before it’s too late, 2019).
Di kawasan Mediterania saja, produksi plastik mencapai lebih dari 37 juta ton pada 2016. Angka ini setara dengan pemakaian 76 kg produk plastik per individu, atau 23 kg diatas rata-rata pemakaian individu secara global.
Dari angka diatas, terdapat sekitar 24 juta ton yang pada akhirnya menjadi sampah plastik.
Sementara produksi plastik di kawasan tersebut menghasilkan tak kurang dari 194 juta ton gas CO2 per tahunnya.
Terdapat tiga negara yang memiliki sampah plastik tertinggi di kawasan itu, yakni Mesir, Italia, dan Turki. Di ketiga negara tersebut, total sampah plastik mencapai lebih dari 65% dari seluruh kawasan.
Yang lebih memprihatikan adalah, dari total sampah plastik tersebut, ada sekitar 0.57 juta ton yang mencemari lautan setiap tahunnya. Angka ini setara dengan 33 ribu botol plastik yang dibuang ke laut setiap menit.
Sampah plastik ini sangat membahayakan kehidupan laut, termasuk seluruh ekosistem didalamnya.
Data menyebut jika pencemaran sampah plastik di laut Mediterania mengakibatkan kerugian di sektor kelautan hingga € 641 juta setiap tahun. Kerugian tersebut berasal dari sektor perikanan (€ 138 juta), industri maritim dan angkutan kapal (€ 235 juta), serta sektor pariwisata berbasis samudera (€ 268 juta).
Untuk itu, berbagai tindakan diambil untuk mengatasi problem sampah plastik, diantaranya:
yang menjadi tanggung-jawab pemerintah:
yang menjadi tanggung-jawab sektor industri:
yang menjadi tanggung-jawab masyarakat:
Penelitian berikut menyoroti problem sampah plastik yang ada di China. Disebutkan bahwa China telah mengimpor lebih dari 100 juta ton sampah plastik, yang ditempatkan di lebih dari 20 kota yang menjadi area untuk memprosus sampah plastik tersebut.
Hal ini memunculkan problem kesehatan bagi penduduk sekitar, terutama para pekerja pengumpul sampah beserta keluarga mereka.
Tercatat pada 2016, China mengimpor lebih dari 65% sampah global, atau sekitar 10.22 juta ton (www.nationalgeographic.com. Plastic Recycling Is Broken. Here’s How to Fix It, June 20, 2018, dikutip pada Senin, 02 Desember 2019).
Alhasil, munculnya berbagai problem lingkungan ini membuat pemerintah China mengambil tindakan tegas.
Pada pertengahan 2017, pemerintah China mengeluarkan pengumuman bahwa negara tersebut tidak akan lagi menerima sampah dari negara lain.
Kebijakan ini (dikenal dengan istilah National Sword), menyatakan pelarangan impor 24 jenis sampah, termasuk sampah plastik, diberlakukan secara efektif pada awal 2018.
Kebijakan tersebut diambil berdasarkan pertimbangan bahwa proses daur ulang sampah sebenarnya bukanlah solusi atas permasalahan sampah.
Faktor lain adalah data yang menyatakan jika hanya ada sekitar 9% sampah plastik yang bisa didaur ulang sejak 1950, itupun dibarengi dengan munculnya dampak negatif pada lingkungan, baik berupa pencemaran udara, air, maupun tanah (GAIA. Discarded: Communities on the Frontlines of the Global Plastic Crisis, April 2019).
Demikian berbagai persoalan terkait sampah plastik. Pada akhirnya, jika permasalahan sampah plastik tidak segera diatasi, bisa jadi hal itulah yang menjadi warisan terbesar untuk generasi mendatang. **
ARTIKEL TERKAIT :
Melihat Kembali Tragedi Chernobyl: ketika lingkungan terkena dampak radiasi nuklir
Mencermati Kondisi Lingkungan Hidup di 2019 dan Tantangan Kedepan
Mengenang Tragedi Minamata, ketika aktivitas perekonomian mengabaikan faktor lingkungan
Memahami Arti dan Dampak Pemanasan Global (Global Warming)
Studi menyatakan jika sampah rumahtangga (municipal solid waste) dari 194 negara yang menjadi objek penelitian, bisa mencapai 2.1 ton setiap tahunnya.
Dari angka tersebut, hanya sekitar 16% atau 323 juta ton yang mengalami proses daur ulang, sementara lebih dari 45% atau sekitar 950 juta ton sampah tidak terkelola dengan baik.
Adapun lima negara dengan penghasil sampah rumahtangga terbesar di dunia adalah China (lebih dari 15%), Amerika Serikat (11%), India (12%), Brazil (4%), dan Indonesia (3%) (Verisk Maplecroft. Waste Generation and Recycling Indices 2019: Overview and findings, June 2019).
Sementara penelitian lain menyebutkan jika secara global terdapat sekitar 8-12 juta ton sampah plastik yang memenuhi lautan setiap tahunnya.
Ironisnya, sekitar 50-70% sampah tersebut berasal dari sampah plastik rumahtangga yang berasal dari negara-negara berkembang. Sampah plastik ini terakumulasi diberbagai wilayah perairan dunia dan mencemari kehidupan biota laut.
Pencemaran sampah plastik juga berdampak besar pada perubahan iklim bumi. Catatan menunjukkan jika produksi plastik secara global mengeluarkan tak kurang dari 400 juta ton gas buang setiap tahunnya.
Disamping itu, apabila pertumbuhan produksi plastik terus meningkat, diperkirakan pada 2050 nanti industri plastik akan menghabiskan sekitar 20% konsumsi minyak bumi.
Selain pencemaran dari gas buang, produk plastik sendiri akan menjadi sampah padat yang tidak bisa terurai dalam lingkungan, yang memicu munculnya gas karbondioksida (CO2).
Pada 2016 misalnya, gas CO2 yang timbul akibat sampah produk plastik mencapai 1.6 miliar ton, dan akan terus meningkat hingga 2.6 miliar ton di 2050 (Tearfund, Fauna & Flora International, and WasteAid and The Institute of Development Studies. No Time To Waste: Tackling the plastic pollution crisis before it’s too late, 2019).
Di kawasan Mediterania saja, produksi plastik mencapai lebih dari 37 juta ton pada 2016. Angka ini setara dengan pemakaian 76 kg produk plastik per individu, atau 23 kg diatas rata-rata pemakaian individu secara global.
Dari angka diatas, terdapat sekitar 24 juta ton yang pada akhirnya menjadi sampah plastik.
Sementara produksi plastik di kawasan tersebut menghasilkan tak kurang dari 194 juta ton gas CO2 per tahunnya.
Terdapat tiga negara yang memiliki sampah plastik tertinggi di kawasan itu, yakni Mesir, Italia, dan Turki. Di ketiga negara tersebut, total sampah plastik mencapai lebih dari 65% dari seluruh kawasan.
Yang lebih memprihatikan adalah, dari total sampah plastik tersebut, ada sekitar 0.57 juta ton yang mencemari lautan setiap tahunnya. Angka ini setara dengan 33 ribu botol plastik yang dibuang ke laut setiap menit.
Sampah plastik ini sangat membahayakan kehidupan laut, termasuk seluruh ekosistem didalamnya.
Data menyebut jika pencemaran sampah plastik di laut Mediterania mengakibatkan kerugian di sektor kelautan hingga € 641 juta setiap tahun. Kerugian tersebut berasal dari sektor perikanan (€ 138 juta), industri maritim dan angkutan kapal (€ 235 juta), serta sektor pariwisata berbasis samudera (€ 268 juta).
Untuk itu, berbagai tindakan diambil untuk mengatasi problem sampah plastik, diantaranya:
yang menjadi tanggung-jawab pemerintah:
- melarang pembuangan sampah plastik di lingkungan.
- melarang penggunaan plastik sekali pakai.
- berinvestasi pada sistem pengelolaan sampah yang efektif dan ramah lingkungan.
- mendukung inovasi penemuan alternatif produk plastik.
- mendorong kesadaran masyarakat sebagai konsumen dalam memanfaatkan plastik.
yang menjadi tanggung-jawab sektor industri:
- bertanggung-jawab penuh dalam proses daur ulang sampah plastik, bukan sekedar membayar kompensasi kerugian akibat sampah plastik.
- mendesain produk yang meminimalisir pemakaian plastik, serta memanfaatkan bahan plastik yang bisa didaur ulang dan dipakai kembali.
yang menjadi tanggung-jawab masyarakat:
- menghindari pemakaian plastik sekali pakai serta menggunakan produk yang ramah lingkungan.
- tidak membuang sampah sembarangan.
Penelitian berikut menyoroti problem sampah plastik yang ada di China. Disebutkan bahwa China telah mengimpor lebih dari 100 juta ton sampah plastik, yang ditempatkan di lebih dari 20 kota yang menjadi area untuk memprosus sampah plastik tersebut.
Hal ini memunculkan problem kesehatan bagi penduduk sekitar, terutama para pekerja pengumpul sampah beserta keluarga mereka.
Tercatat pada 2016, China mengimpor lebih dari 65% sampah global, atau sekitar 10.22 juta ton (www.nationalgeographic.com. Plastic Recycling Is Broken. Here’s How to Fix It, June 20, 2018, dikutip pada Senin, 02 Desember 2019).
Alhasil, munculnya berbagai problem lingkungan ini membuat pemerintah China mengambil tindakan tegas.
Pada pertengahan 2017, pemerintah China mengeluarkan pengumuman bahwa negara tersebut tidak akan lagi menerima sampah dari negara lain.
Kebijakan ini (dikenal dengan istilah National Sword), menyatakan pelarangan impor 24 jenis sampah, termasuk sampah plastik, diberlakukan secara efektif pada awal 2018.
Kebijakan tersebut diambil berdasarkan pertimbangan bahwa proses daur ulang sampah sebenarnya bukanlah solusi atas permasalahan sampah.
Faktor lain adalah data yang menyatakan jika hanya ada sekitar 9% sampah plastik yang bisa didaur ulang sejak 1950, itupun dibarengi dengan munculnya dampak negatif pada lingkungan, baik berupa pencemaran udara, air, maupun tanah (GAIA. Discarded: Communities on the Frontlines of the Global Plastic Crisis, April 2019).
Demikian berbagai persoalan terkait sampah plastik. Pada akhirnya, jika permasalahan sampah plastik tidak segera diatasi, bisa jadi hal itulah yang menjadi warisan terbesar untuk generasi mendatang. **
ARTIKEL TERKAIT :
Melihat Kembali Tragedi Chernobyl: ketika lingkungan terkena dampak radiasi nuklir
Mencermati Kondisi Lingkungan Hidup di 2019 dan Tantangan Kedepan
Mengenang Tragedi Minamata, ketika aktivitas perekonomian mengabaikan faktor lingkungan
Memahami Arti dan Dampak Pemanasan Global (Global Warming)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar