Pada materi ini, kita akan belajar tentang pemikiran ekonomi dan utilitarianisme John Stuart Mill (1806-1873).
Mill lahir
di London, 20 Mei 1806. Ia tumbuh dalam keluarga yang memiliki literasi tinggi.
Dengan pengetahuan luas yang dikuasai, Mill dikenal sebagai filsuf, politisi, serta ekonom.
Ia juga menuangkan
pemikiran-pemikirannya dalam berbagai tulisan.
Kita akan mempelajari
beberapa diantaranya, terutama terkait ekonomi dan utilitarianisme.
Salah satu
karya terkenalnya, Utilitarianism (1863), membuat Mill disebut sebagai pencetus
paham utilitarianisme.
Meski sebenarnya,
ide awal utilitarianisme berasal dari Jeremy Bentham (1748-1832).
Dalam karya
tersebut, Mill memperkenalkan konsep utility berdasar pada perspektif
kualitatif.
(Perlu dicatat:
Mill menggunakan istilah utility bergantian dengan kata happiness
dan pleasure. Untuk itu, kita akan menggunakan istilah “kebahagiaan” dan
“kepuasan”, sebagai kata yang sepadan, supaya memudahkan pemahaman).
Menurutnya,
manusia tidak mengejar kepuasan fisik semata, karena ada hal yang tak kalah
penting daripada kepuasan fisik.
Ia meyakini bahwa kepuasan individu tidak akan memberi kebahagiaan maksimal; justru kebahagiaan
bersama’lah yang menciptakan kebahagiaan individu.
Dengan
demikian, tujuan akhir utilitarianisme hanya akan tercapai melalui pengembangan
karakter mulia.
Karena kebahagiaan
berakar dari konsep keadilan, maka dalam praktiknya, pelipat-ganda’an
kebahagiaan merupakan sebuah keutamaan (virtue).
Pandangan inilah yang membuat perbedaan mendasar antara Mill dengan Bentham; dalam hal ini, Bentham menitikberatkan utility pada kepuasan individu.
Bentham juga menilai
jika kepuasan itu bertingkat secara kuantitatif.
Disisi lain,
Mill menegaskan pentingnya moralitas (morality), kebebasan (liberty),
dan kehormatan (dignity), sebagai hal yang lebih tinggi daripada kepuasan.
Hal tersebut
ia ungkapkan secara jelas dalam literatur On Liberty (1859).
Baginya,
tidak akan ada pengembangan pribadi tanpa adanya kebebasan.
Ia juga
mengatakan pentingnya pembangunan manusia dalam kesetaraan, baik laki-laki
maupun perempuan.
Setidaknya ada
tiga hal terkait kebebasan individu yang harus dilindungi, yakni: kebebasan untuk berpendapat dan berekspresi,
kebebasan dalam bertindak, serta kebebasan dalam berasosiasi.
Menurut
Mill, dibutuhkannya kekuasaan dan kekuatan untuk membatasi kebebasan individu,
semata-mata karena kebebasan tersebut berpotensi membahayakan kebebasan individu-individu
lain.
Ia mencontohkan,
andai semua orang mengatakan pendapat yang sama, kecuali satu individu; maka
tidak boleh ada pemaksaan dan penekanan kepada satu individu tersebut.
Meski begitu,
tidak sedikit yang mengkritik pandangan Mill.
Beberapa kritikan itu menyatakan jika perspektif Mill tidak berpijak pada realita, bahwa ia hanyalah seorang
utopis.
Selain itu,
Mill tidak menyebutkan dengan jelas konsekuensi yang harus ditanggung, apabila
ada individu yang melukai atau merusak kebebasan individu lain.
Lebih lanjut, Mill menyatakan jika demokrasi dan kebebasan secara bersama-sama akan menciptakan
keutamaan bagi masyarakat.
Pemerintah
atau negara harus bersifat representatif, dimana masyarakat berpartisipasi didalamnya;
sehingga mampu meningkatkan kapasitas moral dan intelektual individu-individu
didalamnya.
Sementara dalam
hal ekonomi, Mill menilai jika ekonomi tidak bisa lepas dari moral dan politik.
Ada beberapa
hal yang menjadi pemikirannya, diantaranya: tenaga kerja, produksi,
modal, serta peran pemerintah.
Ia setuju
bahwa kesejahteraan adalah tujuan utama tenaga kerja.
Oleh karena
itu, distribusi kesejahteraan harus ditentukan dengan peraturan dan institusi,
sehingga kesejahteraan tersebut bisa didistribusikan secara adil.
Adapun dalam
hal produksi, terdapat beberapa elemen utama yang harus diperhatikan, yakni: tenaga
kerja, sumberdaya alam, dan modal.
Mill menekankan,
jika tenaga kerja bergabung menjadi satu dalam divisi-divisi tertentu saat melakukan
tugas, maka hasilnya adalah peningkatan produktivitas.
Kondisi tersebut
akan menguntungkan semua pihak. Di satu sisi, tenaga kerja bisa melakukan pekerjaan
dengan baik; di sisi lain, produktivitas yang meningkat akan menghasilkan efisiensi.
Ia juga
menjelaskan pentingnya penciptaan produk yang memiliki nilai (value). Value
yang ia maksud adalah exchange value.
Menurutnya, exchange
value bukanlah harga, karena harga lebih mengacu pada nilai sebuah produk.
Sementara exchange
value menggambarkan daya beli, atau kemampuan yang melekat pada individu, untuk
bisa mendapatkan komoditas yang ingin dibeli.
Exchange
value juga harus memenuhi
syarat tertentu, yakni memberi manfaat atau kepuasan.
Demikian beberapa
pemikiran John Stuart Mill, baik tentang paham utilitarianisme, maupun terkait
dengan ekonomi. *
Referensi:
Mill, John Stuart.
Principles Of Political Economy, E-book by The Project Gutenberg, Release
date: September 27, 2009.
Mill, John
Stuart. Utilitarianism, from a 1879 edition, The Floating Press, 2009.
ARTIKEL TERKAIT:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar